“Saatnya Kenakan Hijab Beradab, Bukan Hijab Berazab”
Truly Moeslimah in Modern Era, Save Your Beauty With Hijab
Oleh : HALIDA RAHMI LUTHFIANTI (H1E12005)
Mahasiswa Fisika Fakultas Sains dan Teknik Universitas
Jenderal Soedirman
RINGKASAN
Memakai hijab sesuai
syari’ah tidak menutup kita untuk berkreasi, untuk berkarya. Karena Islam pun
mewajibkan kita untuk produktif, berkarya, dan tentunya memberikan manfaat bagi
orang lain umumnya dan khususnya bagi diri kita sendiri. Orang lakukan syari’ah
hendaknya orang yang sepantasnya berkarya, karena semua ajaran Islam
mengajarkan kita kepada sesuatu yang pasti ada manfaatnya. Orang lakukan
syari’ah bukan orang yang hanya melakukan ibadahnya kepada Allah, tapi ia mampu
melakukan hubungan ibadahnya dengan orang sekitar (hablumminannas), ia tak
tutupi lingkup gaulnya, ia pun tak tutupi ilmunya, dalam arti selalu berbagi
ilmu dengan orang lain. “Hijab sesuai syari’ah bukan memasung kebebasan
Muslimah, namun batasi nakalnya lelaki berimajinasi”[1]. Memakai hijab menunggu
siap, lantas mengapa tak kenakan hijab lalu siap? Padahal siap itu setelah
kenakan hijab. Hijab beradab justru halangi dari amal buruk berdosa, setidaknya
hindarkan dosa saat aurat dibuka. Berlian berharga karena sedikit jumlahnya,
maka Muslimah dengan hijab dihargai surga karena sedikit jumlahnya.
“Saatnya Kenakan Hijab Beradab, Bukan Hijab Berazab”
Truly Moeslimah in Modern Era, Save Your Beauty With Hijab
Oleh : HALIDA RAHMI LUTHFIANTI (H1E12005)
Mahasiswa Fisika Fakultas Sains dan Teknik Universitas
Jenderal Soedirman
Berawal dari
satu pengalaman satu realita, dan menghasilkan sebuah fakta. Kata hijab,
jilbab, khimar yang sudah tak asing lagi didengar di telinga kita. Dari
berbagai pengertian yang ada, muncul satu pengertian yang penulis dapatkan, hijab
berasal dari kata bahasa arab, yakni hijabun, yang artinya penghalang. Maksud
penghalang disini adalah penghalang aurat atau penutup aurat. Adapun hijab yang
sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah jilbab dan kerudung. Banyak
orang yang menyamakan antara jilbab dengan kerudung, padahal dua hal mempunyai
makna yang berbeda.
Jilbab adalah
pakaian menutup tubuh wanita, yang terulur, tidak berpotongan, tidak tembus
pandang, dan tidak menampakkan lekuk tubuh[2] . Dengan
demikian, walaupun menutup aurat tapi masih mencetak tubuh atau menggunakan
bahan tekstil yang transparan, maka tetap belum dianggap muslimah sempurna. Karena
muslimah sempurna salah satunya adalah memakai jilbab yang sesuai syari’ah. Kembali
ditegaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya “ada dua golongan dari penduduk
neraka yang belum pernah aku lihat..>> kedua, para wanita yang berpakaian
tapi telanjang, berlengak lengok, kepala mereka seperti punuk unta..>>
wanita seperti ini takkan masuk surga dan takkan mencium baunya, walau baunya
tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”[3] Hadits ini
merupakan satu peringatan yang wajib kita camkan saat mulai banyak orang yang
tidak mengenakan jilbabnya sesuai syar’i. Baunya surga pun tak akan ia cium
saat kita tak kenakan hijab beradab (sesuai syar’i). Bukan ketinggalan zaman
ataupun tidak kenal modis, tapi syar’i harus kita utamakan. Karena dunia bukanlah
kehidupan yang kekal, dunia hanyalah jalan atau proses menuju kekekalan. Maka
dari itu saatnya kita berproses untuk menuju sesuatu yang kekal, meski
terkadang proses ini membuat kita hampir menyerah karena dihadapkan dengan
berbagai tantangan. Tapi tantangan itulah yang membuat kita tetap hidup sampai
saat ini.
Kerudung dalam
sebutan Al Qur’an adalah khimar. Khimar adalah kerudung, kain penutup aurat
wanita hingga batas dada. Allah berfirman dalam QS annur : 31, bahwa diwajibkan
atas muslimah untuk memakai kerudung hingga menutup dadanya. Bukan hanya mengikuti
modis, kemudian lupakan syar’i. Akan tetapi syar’i yang harus kita utamakan dan
tak lupakan modis. Rasa sedih muncul saat muslimah yang tak lupakan syar’i
menjadi terasingkan atau menjadi satu hal yang aneh di mata orang sekitar. Tapi
kesedihan ini dapat terjawab saat membaca Hadits yang disabdakan oleh Rasulullah
SAW, Rasulullah bersabda “Islam bermula dari keterasingan. Dan ia akan kembali
menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu”[4] Dengan
demikian, tak usah khawatir, tak usah resah, karena kelak akan menjadi
orang-orang beruntung. Dan berlian pun berharga karena sedikit jumlah, maka
jangan takut jika kita menjadi orang yang ‘sedikit’ atau minoritas, karena
surga hargai orang-orang yang berhijab karena ia berharga dan sedikit
jumlahnya.
Dewasa kini
sudah tak asing lagi melihat orang yang mengenakan penutup rambut atau ‘mereka’
katakan kerudung, bahkan orang non islam sekali pun ikut mengenakannya, ya
mereka berdalil karena keindahannya, seni. Rasa bahagia muncul saat satu kelas
pada tataran Universitas Negeri tak ada yang tidak mengenakan kerudungnya, tapi
entah rasa bahagia muncul hanya untuk sesaat saja, saat orang tak sadarkan
kebahagiaan tersebut. Sejenak kita tengok kepada ajaran yang sudah sedemikian
sempurnya, hingga syari’ahnya pun telah mendesign
sedemikian indah untuk kemaslahatan atau manfaat bagi umatnya, yakni ajaran
Agama Islam. Dunia boleh berkata iya,
dunia boleh berkata keren, dunia
boleh berkata beken, dunia boleh
berkata modern. Tapi norma syari’ah memang norma yang tak dapat ditimbas dengan
kemodernan saat ini. Modernisasi atau globalisasi saat ini memang banyak sekali
menjadikan perubahan dalam segala aspek, baik itu menjadi satu hal yang
mengantarkan ke arah positif ataupun ke arah negatif. Hingga cara berpikir
orang pun hendak sangat berubah.
Sedih rasanya
saat islam di Indonesia sudah besar tapi ia tak ambil jalan yang benar sesuai
apa yang telah di syari’atkan, padahal syari’ah islam sudah sedemikian
‘sempurnanya’. Dapat kita ibaratkan dengan dua macam air pada dua gelas yang
ada di hadapan kita, yakni air putih dan air selokan. Air putih diibaratkan
sebagai aturan syari’ah islam, air selokan adalah modernisasi yang sudah
tercampur berbagai macam kebathialan, hingga lupakan syari’ah. Mengapa
mayoritas orang zaman sekarang ini mereka mengambil air selokan, padahal sudah
jelas dan tahu bahwa jika kita tinjau dari segala sisi termasuk manfaat
khususnya, air putih yakni lebih sehat, lebih enak, lebih bermanfaat
dibandingkan air selokan. Begitu halnya saat orang islam tak mengambil aturan
syari’ahnya yang lebih banyak manfaatnya seperti air putih tadi, maka ia telah
abaikan enaknya, sehatnya, manfaatnya aturan syari’ah islam.
Syari’ah islam
dibuat bukan tanpa pemikiran, bukan pula tanpa manfaat. Tapi semua yang
diajarkan oleh islam itu adalah berbuah manfaat. Salah satunya adalah saat kita
kenakan hijab tapi tak sesuai syari’ah. Suatu penelitian ilmiah kontemporer
telah menemukan bahwasannya orang yang berpakaian ketat akan mengakibatkan
berbagai penyakit kanker ganas di sekujur tubuhnya yang terbuka, apalagi gadis
atau putri-putri yang mengenakan pakaian ketat-ketat. Hasil penelitian ilmiah
ini dengan mengutip berbagai fakta, diantaranya bahwa akibatnya akan mengalami kanker
ganas milanoma pada usia dini. Hal ini disebabkan karena pakaian ketat yang
digunakan oleh putri-putri di terik matahari dalam waktu yang panjang setelah
bertahun-tahun, sehingga adanya sengatan matahari yang mengandung ultraviolet
dalam waktu yang panjang di sekujur tubuh yang ketat. Kanker ganas milanoma adalah
seganas-ganasnya kanker, yang di tandai bulatan bulatan kecil, kanker ini akan
menyerang pada darah, menetap di hati serta merusaknya, menyerang janin dalam
rahim ibu yang sedang mengandung, dan menetap di sekujur tubuh serta
merusaknya.[5]
Maka dari itu sudah sepantasnya Muslimah kenakan hijab yang beradab, bukan
hijab yang berazab.
Ada satu kisah
cerita tentang seorang yang mengalami ‘kecelakaan’ dari Pondok Pesantrenya. Dia
adalah seorang anak yang berasal dari suatu desa kecil di Kota Santri sana. Ya,
sebut saja dia adalah Si Fulan. Sejak lulus SD ia dimasukkan ke Pondok
Pesantren karena keinginan orang tuanya. Keterpaksaan kedua orang tua yang
akhirnya membuat ia tidak nyaman berada di Pondok Pesantren. Akhirnya ia
bagaikan bayi prematur yang keluar tidak sempurna seperti bayi normal lainnya,
begitu pun Si Fulan ini, ia hanya menjadi santri prematur yang gugur saat tiga
tahun pertama. Kemudian ia melanjutkan studinya di SMA Negeri yang ada di Kota
Santri sana. Suatu hari teman sejak di Pondoknya dulu bertemu dengan Si Fulan
tadi. Ia tak kenakan khimarnya, kekecewaan hendak sangat dirasakan oleh
temannya Si Fulan yang ia masih melaksanakan studinya di Pondok. Kemudian saat
itu temannya bertanya kepada Si Fulan bahwa mengapa ia tak kenakan khimarnya.
Si Fulan menjawabnya bahwa untuk apa kenakan khimar saat akhlak tak
mencerminkan orang berkhimar. Bukan tanpa sebab ia berkata demikian, akan
tetapi karena perkataan teman-temannya yang hendak memukul saat ia kenakan
hijab di SMAnya. Ia merasa terpukul atas perkataan teman-temannya dan kemudian
memutuskan untuk tak kenakan khimar.
Dari kisah
diatas kita dapat melihat realita yang ada bahwa dalil orang-orang tak pandai
syari’ah mereka sering beralasan bahwa untuk apa kita berhijab saat akhlak tak
mencerminkan atas hijabnya. Padahal saat itu mereka lakukan dua maksiat, membuka
aurat dan menggunjing saudaranya. Aurat adalah satu hal yang lebih urgent sebelum benahi akhlak. Karena
kenakan hijab dapat memulai untuk memperbaiki akhlak kita. Bukan menunggu
akhlaknya baik baru kenakan hijab. Bukan pula kita berhijab karena sikap kita
telah sempurna, tapi dengan berhijab kita akan menuju kesempurnaan atas amalan
yang kita lakukan. Kita akan selalu bercermin saat kenakan hijab, bercermin
saat akhlak mulai tak pantas, bercermin saat Dhuha tak lakukan shalat,
bercermin saat tahajud tetap berada di atas kasur, bercermin saat uang bulanan
tak sisakan untuk anak yatim yang berhak ataupun kotak amal di mesjid sana. Maka
sudah sepantasnya muslimah kenakan hijab yang beradab, bukan hijab yang
berazab.
Biodata Penulis
Judul Naskah :
“Saatnya Kenakan Hijab Beradab, Bukan Hijab Berazab” Truly Moeslimah in Modern
Era, Save Your Beauty With Hijab
Nama Penulis :
Halida Rahmi Luthfianti
Fakultas :
Sains dan Teknik
Prodi :
Fisika
E-mail :
halidarahmi@gmail.com
No. Hp :
085659277637
Scan KTM :