Beranda

Followers

Jumat, 23 November 2012

Saat Mimpi Lupa 'Bermimpi'

Di tengah sibuknya perkuliahan, ku sempatkan ucapkan kata pada untaian kalimat yang ku tarik pada satu pengalaman sebelum tepat aku berada di tempat ini.

"Gantungkan mimpi setinggi langit!" Soekarno
"Bermimpilah! Karna Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi mu" Andrea Hirata

Bukan kata yang asing lagi terdengar di telinga kita, bukan pula kata yang tak ada fakta .
Ya mimpi memang harus kita targetkan, bahkan menjadi satu hal yang wajib bagi semua orang untuk mempunyai mimpi. Sangat bayak hal positif yang dapat kita ambil ketika kita sudah metargetkan sebuah mimpi. Hingga kita dapat melakukan segala hal dengan sungguh-sungguh.

Tapi saat sejenak berpikir, semua hal memang mempunyai plus minusnya, seperti layaknya unsur-unsur yang saling berikatan, saling mentrasfer bahkan memakai secara bersama. Ya semuanya saling menguntungkan, apapun positif dan negatifnya hanya untuk menggapai satu tujuan yakni menuju kestabilan.

Terkadang sebagian orang menjadikan mimpi sebagai Tuhan (sesuatu yang diagungkan, dibesarkan), apapun alasannya, ia tak peduli keadaan sekitar seperti apa, "pokonya mimpi adalah apa yang harus dicapai!!". Usaha maksimal positifnya yang akan ia lakukan, tapi egoisme dan sikap menuhankan inilah yang seharusnya dihilangkan pada jiwa Sang Pemimpi, Sang Pemimpi mampu faham dengan keadaan sekitar, mampu menyesuaikan dengan keadaan sekitar.
 


Ada satu kisah bahwa ia adalah orang yang punya mimpi tinggi dan kerja kerasnya pun sangat luar biasa, sebut saja dia si fulan. Suatu hari, di suatu desa kecil tepatnya di Kota Satria ini, terdapat satu keluarga, dimana beranggotakan keluarga yang lumayan besar, 1 ayah, 1 ibu, dan 5 anaknya, 2 laku-laki, 3 perempuang. Si Fulan adalah anak ke tiga, yang kebetulan dia perempuan. Semangat yang luar biasa membuat ia mempunyai segudang prestasi di sekolahnya. Orang tuanya sangat bangga kepada Si Fulan ini, meski ia punya segudang prestasi, tapi bakti terhadap orang tuanya tidak ia lupakan, satu desa sangat mengenalnya, hingga ia menjadi orang terhormat di desa ini. Sejak kelas 1 SMA ia mempunyai mimpi untuk melanjutkan kuliahnya ke Universitas ternama di Depok dengan bidang Kedokterannya. Segala persiapan mulai ia siapkan dari sejak ia masuk SMA. Kedua orang tuanya sangat memberikan support untuk kuliahnya di Depok sana. Ia pun sangat bersemangat. Singkat cerita Si Fulan saat ini tengah berada pada akhir SMA nya. Ia mempunyai 2 adik, yakni satu adiknya kelas 6 SD dan satu adiknya lagi kelas 2 SMP. Ketika lebaran datang, semuanya berkumpul, ayah berkata bahwa adiknya si Fulan yang SD hendak di masukkan ke boarding, karena keluarganya memang mewajibkan untuk SMP di boarding, beliau memberikan keringanan untuk masalah SMA, mau atau tidaknya itu adalah sunnah. Akan tetapi ada amanat khusus bahwa adiknya yang kelas 2 SMP untuk tetap melanjutkan di pondok, karena kenakalannya yang cukup menguji keluarganya. Sejak ia kelas 2 SMA ayahnya bekerja sebagai pelayar, yang sering berlayar antar negara, semua keadaan menjadi berubah, ia tak lagi mendapat izin dari ayah ibunya, bahkan dari 2 kakanya yang hendak bekerja dan sudah menikah di Ibu Kota sana. Tidak semata-mata mereka tak punya alasan untuk tidak menngizinkan, tapi berbagai banyak pertimbangan telah mereka bicarakan. Ibunya yang sudah lanjut usia dan hendak sakit-sakitan, menjadi satu alasan yang sangat dipertimbangkan. Si Fulan sangatlah bingung, karena keadaan yang tiba-tiba membalik menjadi tidak diizinkan sama sekali. Terlalu gigihnya Si Fulan ini menjadikan ia mempunyai sifat yang tidak bisa di patahkan saat ia mempunyai suatu keputusan, dan sejak awal ia telah berjanji terhadap apa yang menjadi impiannya, apapun keadaannya ia tetap harus menggapai mimpinya. Maka ia tetap mempertahankan mimpinya, dengan melanjutkan kuliahnya di Depok sana. Memang, orang tua hanyalah ingin anaknya yang terbaik, walau ia tak mengizinkan, dengan segala permintaan Si Fulan, akhirnya ayah dan ibu mengizinkannya, walau ibu harus ditinggal sebatang kara di kampung sini. 



Singkat cerita Si Fulan ini telah berada di Depok sana. 6 bulan ia jalani, rasanya belum menemukan kenyamanan walau mimpinya yang besar telah ia gapai. Saat praktikum juga segudang tugas di semester 2 mulai mengisi kesibukan di perkuliahannya. Tiba-tiba tak sengaja ia ambil telpon genggam di tas yang tertumpuk banyak setrikaannya, 10 panggilan tak terjawab terlihat pada layar telepon genggammnya. Ternyata panggilan ini tepat dari kakanya, panggilan ini menandakan ia harus pulang ke kampung sana, karena dikabarkan ibunya tengah koma di Rumah Sakit. Lalu ia bergegas menuju terminal untuk pulang kampung. Hati mulai meluruh, sepuluh jam menuju kampung halamannya tak sedetik pun ia tertidur, ia seperti orang yang tak pernah menemukan nikmat di dunia, ia tersadar akan keadaan saat hendak keluar SMA, ia sangat menyesali keputusannya, fakultas yang banyak orang ingin-ingin kan, ternyata masih lebih berharga nasihat orang tuanya, menangis dan terus menangis atas penyesalan nya, seketika ia melamun seperti orang yang tak mengerti agama. Akhirnya, tepat pukul 02.00 ia di depan gang rumahnya, ternyata bendera kuning sudah terlihat mengibar-ngibar dan banyak orang di rumahnya. Kain kafan sudah menutupi seluruh tubuh ibunya. Kaka yang menunggu sampe akhir hayat ibunya memanggil si Fulan dan memberikan sepucuk surat yang di tulis ibunya sebelum ia mengakhiri akhir hayatnya. Ia membuka surat tepat di kamarnya dulu sejak SMA. 


"ibu sangat bangga dengan mu juga anak-anak ibu, hanya surat ini ibu sampaikan kepada mu, karena ada amanat penting yang ingin ibu sampaikan kepadamu. Maafkan ibu dan ayahmu yang telah mendikte saat kamu menentukan pilihan kuliahmu, Nak. Tetaplah kamu menjadi orang besar disana, dan sekarang nyamankanlah keadaanmu disana walau ibu telah jauh darimu, semua bukan salahmu, Nak. Jangan lantas kamu mengurung diri, ibu hanya berpesan hilangkanlah sifat egomu, lihat keadaan sekitarmu saat kamu mengambil keputusan, kelak kamu jadi dokter nanti, pasien sangat membutuhkan mu. Jadilah dokter yang bersahaja, Nak ." 




Akhirnya Si Fulan melanjutkan kuliahnya di Universitas tempat ia tinggal dengan tetap mengambil bidangnya Kedokteran, karena tak ada yang menempati rumahnya.

Dari cerita diatas kita dapat mengambil pelajaran, bahwa walau ia punya segudang mimpi yang diinginkan. Sang Pemimpi mampu faham dengan keadaan sekitar, mampu menyesuaikan dengan keadaan sekitar. Sang Pemimpi mampu menyandarkannya kepada Sang Pemberi Keputusan yang Agung Allah SWT.

Idealnya mimpi tak akan terwujud saat Sang Maha Kuasa tak berikan Kuasa kepada Sang Pemimpi. Mereka lupa terhadap apa Zat yang sejatinya kita Tuhankan yakni Allah SWT. Mereka lupa terhadap apa yang sedang dilakukannya adalah alur mengalir yang akan berlabu di lembah, yakni lembah takdir Sang Maha Kuasa. Ya air menuju lembah memang bisa kita alihkan, tapi pun mereka lupa akan semuanya yang tetap berada dalam koridor aturan Sang Maha Kuasa. Maka mereka jadikan mimpi adalah Tuhannya.



Sejatinya kita sebagai Sang Pemimpi yang tak akan lepas dari koridor Sang Maha Kuasa mampu tak menjadikan mimpi sebagai Tuhan, tapi Allah tetap menjadi Tuhan kita saat "bermimpi" dan menggapainya..

"Have a nice dream :-)"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar