Beranda

Followers

Rabu, 16 September 2015

Karena langkah terbaik adalah langkah yang berdasar, APAPUN !

Dalam riwayat Tirmidzi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
“Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan”.

Hadits di atas menunjukkan bahwa apapun yang dilakukan, sejatinya tidak berada dalam keraguan, dan memiliki dasar adalah cara terbaik untuk menyingkirkan keragu-raguan dan meneguhkan keyakinan.

Bagi sebagian warga Indonesia, perbedaan penentuan awal bulan sudah menjadi hal yang lumrah. Akan tetapi perbedaan kali ini lebih berpeluang memunculkan keraguan, karena pelaksanaan yang dilakukan wukuf di Mekah dan tanggal 9 arafah 1436 di Indonesia berbeda, sehingga dapat dipastikan Idul 'Adhanya pun berbeda. Sehingga kapan Shaum arafah? sedangkan wukuf dilakukan tanggal 23 September 2015, dan tanggal 09 Arafah 1436 keputusan Muhammadiyah 22 September 2015. 

Muhammadiyah menggunakan metode wujudul hilal dalam melakukan penentuan awal bulan. Maka tangal 1 dzulhijjah 1436 H adalah tanggal 14 Sept 2015, tinggi hilal hakiki 0 derajat 35 menit 40 detik, dan ini jelas hilal tidak akan terlihat oleh mata telanjang. Dengan menggunakan perhitungan ini, sudah dapat dipastikan waktu shaum arafah dan Idul Adha di Indonesia, bukan atas dasar keputusan Arab Saudi. Akan tetapi Selama ini banyak orang beranggapan bahwa perbedaan pelaksanaan hari raya atau Ramadhan Muhammadiyah dengan pemerintah, sedikit melegakan keraguan karena bersamaan dengan Mekah. Akan tetapi dasar Muhammadiyah dalam menentukan hari raya, Ramadhan, awal bulan BUKAN atas dasar hal itu.

Maka inilah penjelasan lengkap dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, semoga membantu meneguhkan keyakinan dan menyingkirkan keragu-raguan..








BC : Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.
Pada malam Senin 13 September 2015, Kemenag melalui Dirjen BIMAS Islam menyampaikan hasil sidang itsbat sebagai hasil dari penggunaan metode Imaknur Ru'yat terkait dengan penentuan Hari Arofah dan Hari Raya Idul Adha.  Pemerintah memutuskan bahwa  tanggal 1 Dzulhijjah 1436 H jatuh pada Hari Selasa 15 September 2015. Sehingga Hari Arofah (9 Dzhulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Rabu tanggal 23 September 2015 dan Hari Raya Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H)  jatuh pada Hari Kamis 24 September 2015.
Sementara Muhammadiyah dengan metode Wujudul Hilal sudah menetapkan jauh sebelumnya bahwa tanggal 1 Dzulhijjah 1436 H jatuh pada Hari Senin 14 September 2015 sehingga Hari Arofah (9 Dzhulhijjah 1436 H) jatuh pada Hari Selasa tanggal 22 September 2015 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H)  jatuh pada hari Rabu 24 September 2015.
Adapun pemerintah Arab Saudi menurut informasi juga menetapkan bahwa tanggal 1 Dzulhijjah 1436 H jatuh pada Hari Selasa 15 September 2015 sehingga Hari Arofah (9 Dzhulhijjah 1436 H) jatuh pada Hari Rabu tanggal 23 September 2015 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H)  jatuh pada hari Kamis 24 September 2015.

Keputusan pemerintah Arab Saudi terkait dengan Hari Arofah (9 Dzhulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Rabu tanggal 23 September 2015 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H)  jatuh pada hari Kamis 24 september 2015 yang berbeda dengan jadwal perjalan haji yang sudah dirilis oleh Kemenag dimana dicantumkan bahwa Wukuf di Arofah jatuh pada Hari Selasa tanggal 22 September 2015 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H)  jatuh pada hari Rabu 23 September 2015 mungkin sedikit membuat ragu beberapa Warga Muhammadiyah dan Simpatisan Muhammadiyah.

Untuk itu perlu dijelaskan kepada Warga Muhammadiyah dan Simpatisan Muhammadiyah meskipun keputusan Muhammadiyah terkait dengan penetapan tanggal 1 Dzulhijjah 1436 H, Hari Arofah dan Hari Idul Adha berbeda dengan Pemerintah dan bahkan juga berbeda dengan Pemerintah Arab Saudi, bahwa keputusan itu benar adanya berdasarkan metode Hisab Wujudul Hilal yang dipedomani Organisasi Muhammadiyah.  Penjelasan tersebut diberikan agar mereka tidak merasa ragu ketika melaksanakan puasa Arofah pada Hari Selasa 22 September 2015 dan Sholat Idul Adha pada Hari Rabu 23 September 2015.

Apakah Puasa Arafah  harus dikerjakan bersamaan dengan jama'ah haji yang sedang berwukuf? 

ﺻِﻴَﺎﻡُ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺮَﻓَﺔَ ﺃَﺣْﺘَﺴِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃَﻥْ ﻳُﻜَﻔِّﺮَ ﺍﻟﺴَّﻨَﺔَ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻗَﺒْﻠَﻪُ ﻭَﺍﻟﺴَّﻨَﺔَ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﺑَﻌْﺪَﻩُ
"Puasa Hari Arofah aku berharap kepada Allah agar menjadi penebus (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya" (HR Muslim no 197)

Kalangan ulama berbeda pendapat terkait dengan makna kalimat ﺻِﻴَﺎﻡُ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺮَﻓَﺔَ "Puasa Hari Arofah.....".

Pendapat pertama mengatakan bahwa Puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan bersamaan dengan wukufnya para jama'ah haji di padang Arafah. 

Pendapat Kedua menyatakan bahwa Puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah pada masing-masing wilayah. 

Masalah tersebut adalah masalah Khilafiyah Fiqhiyah, sehingga dibutuhkan adanya kelapangan dada untuk tetap legowo dalam menghadapi permasalahan seperti ini, tidak perlu ngotot apalagi menuduh orang yang berbeda pendapat dengan tuduhan yang tidak-tidak. 
Kita hadapi permasalahan tersebut  dengan saling berlapang dada. Karena apabila setiap permasalahan Khilafiyah Fiqhiyah kita ngotot, maka kita akan selalu ribut.

Permasalah tersebut pada dasarnya berangkat dari dasar yang sama, hanya berbeda dalam memahami teksnya saja. 
Apabila jika pada saat itu Nabi Muhammad SAW dalam hadits tersebut diatas tadi bersabda : "Berpuasalah Arafah kalian ketika Jama'ah Haji Wukuf di Arafah", tentu tidak akan muncul persoalan seperti ini. Akan tetapi karena sabda hadist Nabi Muhammad SAW tidak berbunyi seperti itu tentunya. Karena pada kenyataannya Nabi Muhammad SAW bersabda ﺻِﻴَﺎﻡُ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺮَﻓَﺔَ "Berpuasalah pada hari Arofah...", maka muncullah perbedaan dalam memahami sabda Rasulullah SAW tersebut, apakah yang dimaksud adalah "Hari dimana para Jama'ah Haji sedang melakukan Wukuf di Arafah" ataukah yang dimaksud adalah " Pada tanggal 9 Dzulhijjah, yang dinamakan dengan hari Arafah".

Organisasi Muhammadiyah dalam hal ini memahami bahwa Puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah di wilayah Indonesia sesuai dengan hasil perhitungan metode Hisab Wujudul Hilal. 
Oleh karena itu, puasa Arafahnya tidak harus bersamaan dengan para Jama'ah Haji yang sedang Berwukuf di Arafah. 
Hal itu ketika terjadi perbedaan hari antara yang ditetapkan oleh Organisasi Muhammadiyah dengan Pemerintah Arab Saudi.

Beberpa argumentasi dapat dikemukakan untuk dapat mendukung pemahaman Organisasi Muhammadiyah tersebut, yaitu : 

PERTAMA : Rasulullah SAW. telah menamakan Puasa Arafah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan Haji, bahkan para sahabat telah mengenal puasa Arafah yang jatuh pada 9 Dzulhijjah meskipun kaum Muslimin pada waktu itu belum melasanakan Ibadah Haji.
Dalam riwayat Abu Dawud :
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
Dari Hunaidah bin Khalid, dari Istrinya, dari sebagian Istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam berkata : "Adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam berpuasa pada 9 Dzulhijjah, Hari Asyuro (10 Muharram) dan tiga hari pada setiap bulan" (HR Abu Dawud) 

Hadits di atas menunjukkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam terbiasa puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Tatkala mengomentari lafal hadits yang berbunyi :"Orang-orang (yaitu para sahabat) berselisih tentang puasa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam (tatkala di padang Arafah)", Al-Hafiz Ibnu Hajar Rahimatulullah berkata :
"Ini mengisyaratkan bahwasanya puasa hari Arafah adalah perkara yang dikenal di sisi para sahabat, terbiasa mereka lakukan tatkala tidak bersafar. Seakan-akan sahabat yang memastikan bahwasanya Nabi berpuasa bersandar kepada kebiasaan Nabi yang suka beribadah. Dan sahabat yang memastikan bahwa Nabi tidak berpuasa berdalil adanya indikasi Nabi sedang safar" (Fathul Baari 6/268)

Perlu diketahui bahwa Rasulullah SAW hanya berhaji sekali yaitu pada saat Haji wada' dan ternyata Nabi dan para sahabat sudah terbiasa puasa di Hari Arafah meskipun tidak ada dan belum terlaksananya Wukuf di Arafah oleh umat Islam pada saat itu. 
Hal itu menujukan bahwa konsentrasi penamaan puasa Arafah tidak karena adanya orang sedang berwukuf di Arafah, akan tetapi puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah.

KEDUA : Kita bayangkan bagaimana kondisi kaum muslimin sekitar 200 tahun yang lalu, sebelum ditemukannya tehnologi telegraph apalagi telepon. Jika puasa Arafah pada penduduk suatu negeri kaum muslimin, diharuskan sesuai dengan Wukuf di Arafah. Maka bagaimana Puasa Arafah penduduk negeri-negeri yang jauh dari Makkah seperti Indonesia, India, Cina dll?. Pada 200 tahun yang lalu? Demikian juga bagi yang merekan hendak berqurban? Apakah harus menunggu kabar dari Makkah? Dimana yang bisa terjadi kabar tersebut datang berbulan-bulan kemudian.

KETIGA : Jika memang yang ditujukkan adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para Jama'ah Haji di Arafah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan masing-masing negeri), bagaimanakah cara berpuasa Arafah kaum muslimin di daerah Sorong Papua? Yang dimana perbedaan waktu antara Makkah dan Sorong adalah 6 jam?

-misalnya- Jika kaum muslimin Sorong harus berpuasa pada hari yang sama dengan waktu Wukuf Jama'ah Haji di Arafah (Apabila merekabberpuasa sejak pagi hari misalnya pada jam 6 pagi WIT) maka di Makkah belum waktu Wukuf pada waktu itu, karena masih jam 12 malam pada saat itu. Dan tatkala di Makkah baru mulai Wukuf jam 12 siang waktu Makkah, maka di Sorong sudah jam 6 maghrib? Lantas bagaimana bisa menyesuaikan puasanya dengan waktu Wukuf?

KEEMPAT : Jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan pada waktu itu, sehingga pada suatu tahun tidak ada musim haji sehingga jama'ah haji tidak bisa wukuf di Arafah, atau karena keadaan disana tidak bisa dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut. Apakah puasa Arafah juga tidak bisa dikerjakan karena tidak ada Wukuf di Arafah?
Maka jawabannya tentu tetap dilaksanakan puasa Arafah meskipun tidak ada yang Wukuf di Arafah. 

Hal ini menunjukkan bahwa puasa Arafah yang dimaksud adalah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Maka barang siapa yang satu Mathla' (Daerah/ Kawasan/ Satu Waktu) dengan Makkah dan tidak melakukan ibadah Haji maka hendaknya ia berpuasa di hari para Jama'ah Haji sedang melakukan Wukuf di padang Arafah, karena pada waktu itu di Makkah sudah tanggal 9 Dzhulhijjah, akan tetapi jika ternyata mathla'nya berbeda (Seperti kaum Muslimin di Sorong) maka ia menyesuaikan tanggal 9 Dzulhijjah dengan kalender di daerah Sorong.

Pada Intinya permasalahan ini adalah permasalahan Khilafiyah Fiqhiyah. Meskipun Organisasi Muhammadiyah lebih condong kepada pendapat yang kedua, yaitu setiap negeri menyesuaikan 9 Dzulhijjah berdasarkan kalender masing-masing negeri, akan tetapi Oraganisasi Muhammadiyah menyadari bahwa yang mengikuti pendapat yang pertama, tentunya juga punya argumentasi yang kuat. 
Permasalahan seperti ini sangatlah tidak pantas untuk dijadikan ajang untuk saling memaksakanv pendapat, apalagi menuding dengan tuduhan kesalahan Manhaj atau kesalahan Aqidah dan sebagainya. 

Semoga Allah mempersatukan kita dalam Ukhuwwah Islamiyah yang akan selalu berusaha untuk dikoyak oleh iblis dan syaitan serta para pengikutnya.  
Semua pendapat bisa dilaksanakan dengan mempunyai sikap setuju dalam perbedaan Khilafiyah Fiqhiyah. Wallaahu A'lam Bishshawab.

Wasalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
-Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah-