Menuai Sains Mengenal Tuhan
Oleh
: Halida Rahmi Luthfianti[1]
Siapa yang mengenal dirinya maka
dia akan mengenal Tuhannya
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin artinya Islam merupakan
agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta,
termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Ilmu merupakan cahaya
penerang dalam mengarungi lembah kehidupan serta bekal untuk mengenal Tuhan,
atau sarana tentang alam semesta yang diterjemahkan dalam bahasa agar kemudian
dimengerti oleh orang lain.
Jika
kita memandang islam sebagai ilmu maka islam merupakan agama terbuka. Saat kita
memandang islam itu sebagai ideologis, maka islam adalah agama yang tertutup.
Objektifitas nilai islam yakni dari islam untuk semuanya. Artinya islam adalah rahmatan
lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam), secara keseluruhan. Tidak hanya rahmat
untuk orang islam saja akan tetapi harus menjadi rahmat bagi orang yang non
islam sekalipun. Sesuai dengan firman Allah dalam
Surat al-Anbiya ayat 107 yang bunyinya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Saat Al-Biruni
menyodorkan teori perhitungan jari-jari dan keliling bumi dengan menggunakan
bahasa matematisnya, tidak lantas yang dapat menerima teori tersebut hanya
orang islam saja. Orang-orang non muslim, bahkan ilmuwan non muslim pun mampu
menerima teori tersebut. Hal ini menunjukan bahwa islam itu tidak hanya untuk
islam, akan tetapi untuk semua. Islam
Rahmatan lil’alamin. Adapun konstruk islam dan ilmu dalam memandang suatu
permasalah yang ada adalah sebagai berikut :
1. Subjektif
Islam
dipandang sebagai politisi (tertutup). Yakni dengan merujuk atau kembali kepada
Al-Quran dan Hadits
2. Objektif
Memandang
suatu permasalahan yang ada secara keseluruhan dengan mengkaji Ilmu
Pengetahuan. Menggunakan akal yang objektif.
3. Intersubjektif
Islam
dipandang sebagai agama yang terbuka, yakni mengkaji dengan akal yang
mencerahkan, melihat realita sosial yang ada sesuai dengan pengalaman yang dilakuan.
Merupakan lembah dari perjalanan mengkaji Al-Quran, Hadits dan ilmu
pengetahuan, yakni sebuah produk ide kreatif yang inovatif yang mampu menjadi
solusi bagi umat pada umumnya.
Indra
merupakan penyusun tubuh untuk melihat fenomena, akal untuk menganalisis hingga
sampai kepada konstruk sebuah fenomena yang telah diamati indra. Nashir al-din
thusi menyatakan akal merupakan kesempurnaan manusia yang membedakan antara
hewan dengan mahluk Tuhan lainnya.[2]
Memaknai
al-quran adalah memaknai kebenaran, artinya bagaimana Al-Quran dapat berguna
sebagai salah satu variable untuk berdialog dengan Tuhan dalam memaknai
kebenaran. Dialog inilah yang kemudian menjadikan manusia-manusia yang
inovatif. Mampu memandang permasalah dengan sebuah solusi nyata. Inovasi ini
berkali-kali sudah sering disentil oleh alquran dengan 49 kali menyebutnya
dengan kata ‘aql yakni bagaimana kita bisa menggunakan akal dengan seefektif
mungkin dengan petunjuk kajian dari alquran yang kemudian diolah oleh akal yang
mejadikan manusia menjadi mahluk spesial dibanding mahluk lainnya. Bahkan bukan
hal yang mustahil saat kita dapat menemukan potensi diri kita dari Al-Quran.
Sains
adalah sarana pemecahan masalah mendasar dari setiap peradaban. Tanpa sains
peradaban tidak dapat mempertahankan struktur-struktur politik dan sosialnya
atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat dan budayanya. Sebagai wujud
eksternal suatu epistemologis, sains membentuk lingkungan fisik, intelektual
dan budaya serta memajukan cara produksi ekonomis yang dipilih oleh suatu
peradaban.[3]
Maka pada akhirnya sains adalah sarana untuk merubah bahkan mencetak suatu
peradaban.
Ilmu
pengetahuan dan teknologi atau iptek adalah salah satu sisi yang terus
digalakkan dan dimajukan oleh banyak negara di dunia. Tidak sedikit negara maju
yang berhasil menciptakan sesuatu karena majunya sisi IPTEK. IPTEK sangat
berperan dalam kemajuan negara. Negara maju merupakan sebutan untuk negara yang
menikmati standar hidup yang relatif tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata. Teknologi merupakan peran
utama yang ditopang oleh bangunan sains menuju suatu peradaban maju.
Akan tetapi pada kenyataanya sains menjadi sumber
"kebodohan" dari kemajuan teknologi ini. Maka yang terjadi adalah
dikerdilkannya Sains. Saat kemudian negara-negara maju dengan teknologi yang
semakin maju, lantas semakin besar pula tingkat kriminalitas yang ada.
Seolah-olah semakin maju teknologi semakin meningkat pula kriminalitas yang
ada. Mengapa demikian? Tentu hal ini ada kekeliruan konsep yang belum dibangun,
yakni bangunan Agama. Pada hakikatnya sains merupakan salah satu ilmu yang
berperan penting dalam penerang peradaban.
Sains
barat bertumpu pada materialisme ilmiah, yakni Tuhan dianggap imajinasi manusia
yang lemah dan tak berdaya, malaikat dan setan dianggap sebagai lompatan agen
untuk menjelaskan fenomena alam. Materialisme ilmiah menolak keberadaan Tuhan,
materi dianggap ada pada keabadian masa lalu, tanpa ada campur tangan Tuhan.[4]
Maka kemudian menjadi hal yang wajar saat sains yang tidak mempunyai pilar
Agama atau hanya bertumpu pada matearialisme ilmiah telah membawa terhadap
kebangkrutan nilai.
Sejatinya
ilmu itu harus mengantarkan kita untuk mengenal Tuhannya, bahkan hingga
mengantarkan kita untuk lebih dekat dengan Tuhannya. Sehingga memberikan
manfaat untuk kemajuan umat tanpa mengkerdilkan sains itu sendiri. Bahkan akan
membawa terhadap kekayaan atau kebangkitan tata nilai.
[1] * Mahasiswi S1
Fisika Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto
* Kabid Riset dan Keilmuan Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) UNSOED
* Kabid Pengkajian Ilmu Pengetahuan (PIP) PD
IPM Banyumas
[2]
Agus Purwanto, 2012. Nalar Ayat-Ayat Semesta
[3]
Sardar, 1987, 161
[4]
Agus Purwanto, 2012. Nalar Ayat-Ayat Semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar