Beranda

Followers

Selasa, 29 April 2014

“Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Bukan Pahlawan Berjas dan ‘Berjasa’ ” Teacher I Heart You

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Bukan Pahlawan Berjas dan ‘Berjasa’
Teacher I Heart You

Oleh : HALIDA RAHMI LUTHFIANTI (H1E12005)
Mahasiswa Fisika, Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman

RINGKASAN

“Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” . Kalimat yang tak lagi asing di telinga kita semua. Sang Pahlawan yang hendak selalu ikhlas dalam menjalankan segala tugasnya. Sang pahlawan pejuang bangsa, penghapus kutu-kutu di sayap sang Garuda, hingga Garuda mampu kepakkan sayapnya untuk terbang arungi langit di atas sana.

Pahlawan adalah mereka yang berjuang membangun bangsa ini, hingga menjadi satu bangunan yang kokoh, tanpa ada semangat yang roboh. Namun yang perlu ditekankan yakni pahlawan bukanlah orang yang sempurna, bukan pula seseorang yang tanpa cela, ataupun tanpa dosa. Dia tidak selalu benar dalam berikrar dan dia memiliki batasan dalam kemampuan. Maka wajar bila terkadang ia terkapar.

Anak didik tak peduli seberapa pintar gurunya, yang terpenting adalah ia mampu menjadikan model bagi mereka untuk menjadi lebih baik dan penuh inspirasi. Seorang guru tidak hanya memilki satu peran saja tetapi sesungguhnya banyak peran yang diemban oleh seorang guru[1]. Guru memiliki peranan sebagai pendidik dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah. Selain sebagai pendidik guru pun harus menjadi seorang pelajar dalam artian seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan. Ya, mereka  Sang Pahlawan tanpa tanda jasa.


Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Bukan Pahlawan Berjas dan ‘Berjasa’
Teacher I Heart You

Oleh : HALIDA RAHMI LUTHFIANTI (H1E12005)
Mahasiswa Fisika, Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman

Bendera merah putih tak akan menjadi simbol penghormatan di awal pekan anak didik saat hendak masuk sekolah, bendera merah putih tak akan menjadi simbol penghormatan saat hendak memperingati Hari Pendidikan Nasional di lapang nan megah sana, begitu pun bendera Merah Putih tak akan berkibar gagah di tiang kokoh tanpa kehadiran Sang Tokoh. Ya, merekalah para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, merekalah saksi akan bendera merah putih yang hendak berkibar haru di langit biru itu.

Siapa yang tak tahu Letnan Jenderal Anumerta S. Parman, Letnan Jenderal Anumerta Suprapto, dan Jenderal TNI Anumerta Achmad Yani? Warga Negara Indonesia yang baik pasti selalu mengenang jasa mereka dengan segenap perjuangan yang menakjubkan bagi negara ini. Mereka adalah tiga dari banyaknya pahlawan yang menjadi saksi Sang Merah Putih berkibar gagah di langit biru sana. Mereka Sang Pahlawan Revolusi, pejuang penuh saksi.

Guru adalah Sang Pengubah kaum tidak terdidik menjadi kaum yang terdidik. Guru bagaikan para pahlawan revolusi yang memperjuangkan putra-putri Indonesia agar kelak berkibar di atas panji biru tanpa ada rasa malu, ya karena kita punya ilmu. Guru mampu menyelamatkan dari segala keterpurukan bangsa. Mungkin, ada sebagian orang yang saat membaca tulisan ini terhentak dan bahkan tak ingin melanjutkan membaca pada kalimat selanjutnya. Bukan lagi satu hal yang fana, fenomena tragis ini sering dijumpai di arena riil masa kini.

Ada satu kisah tentang dua orang peserta didik yang sama-sama mengenyam pendidikannya di Islamic Boarding School. Karena awamnya mereka yang hanya baru lulusan Sekolah Dasar, saat liburan datang dan pulang ke rumah, mereka tak ingin orang lain menyebutnya santri, karena anggapan mereka bahwa santri itu adalah mereka yang tak banyak mempelajari ilmu pengetahuan umum, sedangkan mereka mempunyai dua mimpi yang sama yakni seorang Ilmuwan Sains Muslim. Padahal sebenarnya secara etimologis memiliki arti sama. Mereka selalu berusaha bersama dalam merajut mimpinya, mereka selalu diskusi bersama, sharing bersama. Kebiasaan itu tak hanya mereka lakukan berdua. Akan tetapi kebiasaan itu memang sudah melekat di tempat itu, begitu pun bercerita, berdiskusi dengan Ustad ataupun Ustadzah[2].

Di tempat itu guru sudah seperti orang tua sendiri yang selalu memberikan banyak pelajaran. Ya, tentunya bukan hanya pelajaran yang mereka dapat di kelas, itu hanya sebagian kecil dari proses pendidikan mereka. Bertanya tentang pelajaran di kelas bukan lagi hal yang asing, berdiskusi segala ilmu pengetahuan pun sering mereka lakukan, hingga saat mereka punya masalah keluarga pun, guru siap menampung dan memberikan segala solusi yang ada. Kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu menjadi super power semangat bagi muridnya untuk menggapai semua cita. Dan walau mereka tahu bahwa bayaran yang mereka terima tak seperti bangsawan , tapi mereka tetap istiqomah dan ikhlas mengajar murid-muridnya disana.

Suatu hari, satu dari dua murid tadi harus berhenti mengenyam pendidikan dari tempat itu. Ya, karena Tuhan telah memanggil ayahnya dan ia harus menemani Ibu dan kedua adiknya. Kemudian ia memutuskan untuk sekolah di SMA Negeri di kota besar sana, karena ia anggap sekolah ini cukup memfasilitasi dalam menggapai citanya, maka dengan segenap bekal yang telah di dapat di Pondok Pesantren dulu ia masih tetap ingin menggapai mimpinya yakni menjadi Sang Ilmuwan Sains Muslim. Tapi ia mulai merasakan hal yang berbeda dengan keadaan pendidikan sebelumnya. Kapitalisme pendidikan yang kemudian hanya menjadi korban kaum kapitalis mulai ia rasakan disana. Guru-guru yang hanya memberikan materi di kelas, tanpa memberikan ‘model’ bagi anak-anaknya. Nilai menjadi satu gapaian paling tinggi, sehingga segala cara dilakukan untuk menggapainya, hingga perilaku tak jujur dilakukan.  Sistem kapitalis saat ia rasakan disana. Ya, yang pintar semakin pintar, yang bodoh semakin bodoh, tanpa ada kepedulian bagi mereka yang kurang menangkap pelajaran dengan cepat. Pendidikan karakter tak sedikit pun ia rasakan.
Rasanya ia rindukan saat-saat guru itu lakukan esensi sebenarnya, ia rindukan masa-masa SMP nya di Boarding School sana. Kecintaan terhadapnya muncul dengan sendirinya berkat segala inspirasi yang diberikan. Guru bagaikan tentara yang ikut berperang, dan ikut mengamankan keadaan dalam negri layaknya polisi.[3]

Guru adalah sang pengubah kaum tak terdidik menjadi kaum yang terdidik. Yang meluruskan saat anak didik sedang banyak mencoba jalur kanan kiri demi mencari jati dirinya. Bukan mereka yang mendikte dengan membatasi segala kreatifitas yang terdidik. Bukan pula mereka yang hanya mengeruk keuntungan dari anak didik, lalu hendak lupakan segala kewajiban yang harus dijalankannya.

Simbol Negara ini yakni burung Garuda nan gagah berani. Burung garuda tak akan terbang melebarkan sayap saat Sang Pahlawan tak lakukan tugasnya dengan baik. Singkirkan kutu-kutu di sayapmu. Terbang lah garudaku. Berkibarlah benderaku, singkirkan benalu di tiangmu, hey jangan ragu dan jangan malu, bahwa sebenarnya kita mampu[4]. Yang dapat melebarkan sayap adalah mereka yang punya karakter benar dan ilmu yang nalar. Indonesia butuh pemuda berkarakter benar dan berilmu nalar untuk hendak melebarkan sayap burung Sang Garuda.

Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan ku cabut semeru dari akarnya, berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.[5] Betapa berpengaruhnya sosok seorang pemuda, hingga jauh dari perumpamaan orang tua. Jangan biarkan tiang bendera itu berdebu, karena tak ada pemuda cerdas yang membersihkannya. Jangan biarkan tiang kokoh itu runtuh karena Sang Pahlawan tak berikan ilmu terbaiknya kepada pemuda yang akan menyokong kokoh tiang itu. Dan jangan biarkan bendera merah putih itu tak lagi berkibar karena kehilangan pahlawan yang menjadi saksi berkibarnya Sang Merah Putih.

Kami butuh sosok pahlawan tanpa tanda jasa, bukan pahlawan berjas dan ‘berjasa’...




[1]Menurut WF Connell
[2] Panggilan seorang guru di pondok pesantren, yakni Ustadz : Guru Laki-laki ; Ustadzah: Guru Perempuan.
[3] Kisah fakta yang dialami penulis.
[4] Bangunlah putra-putri ibu pertiwi-Iwan Fals
[5] Ir. Soekarno. Presiden pertama Republik Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar