“Pahlawan
Tanpa Tanda Jasa, Bukan Pahlawan Berjas dan ‘Berjasa’ ”
Teacher I Heart You
Oleh : HALIDA RAHMI LUTHFIANTI
(H1E12005)
Mahasiswa Fisika, Fakultas
Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman
RINGKASAN
“Guru
adalah pahlawan tanpa tanda jasa” . Kalimat yang tak lagi asing di telinga kita
semua. Sang Pahlawan yang hendak selalu ikhlas dalam menjalankan segala
tugasnya. Sang pahlawan pejuang bangsa, penghapus kutu-kutu di sayap sang
Garuda, hingga Garuda mampu kepakkan sayapnya untuk terbang arungi langit di
atas sana.
Pahlawan
adalah mereka yang berjuang membangun bangsa ini, hingga menjadi satu bangunan
yang kokoh, tanpa ada semangat yang roboh. Namun
yang perlu ditekankan yakni pahlawan bukanlah orang yang sempurna, bukan pula seseorang
yang tanpa cela, ataupun tanpa dosa. Dia tidak selalu benar dalam berikrar dan dia
memiliki batasan dalam kemampuan. Maka wajar bila terkadang ia terkapar.
Anak
didik tak peduli seberapa pintar gurunya, yang terpenting adalah ia mampu
menjadikan model bagi mereka untuk menjadi lebih baik dan penuh inspirasi. Seorang guru tidak hanya memilki satu peran saja
tetapi sesungguhnya banyak peran yang diemban oleh seorang guru[1].
Guru memiliki peranan sebagai pendidik dan pembimbing dalam pengalaman belajar.
Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di
luar fungsi sekolah. Selain sebagai pendidik guru pun harus menjadi seorang
pelajar dalam artian seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan
dan keterampilan. Ya, mereka Sang Pahlawan tanpa tanda jasa.
“Pahlawan
Tanpa Tanda Jasa, Bukan Pahlawan Berjas dan ‘Berjasa’ ”
Teacher I Heart You
Oleh : HALIDA RAHMI LUTHFIANTI
(H1E12005)
Mahasiswa Fisika, Fakultas
Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman
Bendera
merah putih tak akan menjadi simbol penghormatan di awal pekan anak didik saat
hendak masuk sekolah, bendera merah putih tak akan menjadi simbol penghormatan
saat hendak memperingati Hari Pendidikan Nasional di lapang nan megah sana,
begitu pun bendera Merah Putih tak akan berkibar gagah di tiang kokoh tanpa
kehadiran Sang Tokoh. Ya, merekalah para pahlawan yang telah memperjuangkan
kemerdekaan bangsa ini, merekalah saksi akan bendera merah putih yang hendak berkibar
haru di langit biru itu.
Siapa
yang tak tahu Letnan
Jenderal Anumerta S. Parman, Letnan Jenderal Anumerta Suprapto, dan Jenderal
TNI Anumerta Achmad Yani? Warga Negara Indonesia yang baik pasti selalu
mengenang jasa mereka dengan segenap perjuangan yang menakjubkan bagi negara
ini. Mereka adalah tiga dari banyaknya pahlawan yang menjadi saksi Sang Merah
Putih berkibar gagah di langit biru sana. Mereka Sang Pahlawan Revolusi,
pejuang penuh saksi.
Guru
adalah Sang Pengubah kaum tidak terdidik menjadi kaum yang terdidik. Guru
bagaikan para pahlawan revolusi yang memperjuangkan putra-putri Indonesia agar
kelak berkibar di atas panji biru tanpa ada rasa malu, ya karena kita punya
ilmu. Guru mampu menyelamatkan dari segala keterpurukan bangsa. Mungkin, ada
sebagian orang yang saat membaca tulisan ini terhentak dan bahkan tak ingin melanjutkan
membaca pada kalimat selanjutnya. Bukan lagi satu hal yang fana, fenomena
tragis ini sering dijumpai di arena riil masa kini.
Ada satu kisah tentang dua orang peserta didik yang sama-sama
mengenyam pendidikannya di Islamic
Boarding School. Karena awamnya mereka yang hanya baru lulusan Sekolah
Dasar, saat liburan datang dan pulang ke rumah, mereka tak ingin orang lain
menyebutnya santri, karena anggapan mereka bahwa santri itu adalah mereka yang
tak banyak mempelajari ilmu pengetahuan umum, sedangkan mereka mempunyai dua
mimpi yang sama yakni seorang Ilmuwan Sains Muslim. Padahal sebenarnya secara
etimologis memiliki arti sama. Mereka selalu berusaha bersama dalam merajut
mimpinya, mereka selalu diskusi bersama, sharing bersama. Kebiasaan itu tak
hanya mereka lakukan berdua. Akan tetapi kebiasaan itu memang sudah melekat di
tempat itu, begitu pun bercerita, berdiskusi dengan Ustad ataupun Ustadzah[2].
Di tempat itu guru sudah seperti orang tua sendiri yang
selalu memberikan banyak pelajaran. Ya, tentunya bukan hanya pelajaran yang
mereka dapat di kelas, itu hanya sebagian kecil dari proses pendidikan mereka. Bertanya
tentang pelajaran di kelas bukan lagi hal yang asing, berdiskusi segala ilmu
pengetahuan pun sering mereka lakukan, hingga saat mereka punya masalah
keluarga pun, guru siap menampung dan memberikan segala solusi yang ada. Kata-kata
yang keluar dari mulutnya selalu menjadi super
power semangat bagi muridnya untuk menggapai semua cita. Dan walau mereka
tahu bahwa bayaran yang mereka terima tak seperti bangsawan , tapi mereka tetap
istiqomah dan ikhlas mengajar murid-muridnya disana.
Suatu hari, satu dari dua murid tadi harus berhenti mengenyam
pendidikan dari tempat itu. Ya, karena Tuhan telah memanggil ayahnya dan ia
harus menemani Ibu dan kedua adiknya. Kemudian ia memutuskan untuk sekolah di
SMA Negeri di kota besar sana, karena ia anggap sekolah ini cukup memfasilitasi
dalam menggapai citanya, maka dengan segenap bekal yang telah di dapat di
Pondok Pesantren dulu ia masih tetap ingin menggapai mimpinya yakni menjadi
Sang Ilmuwan Sains Muslim. Tapi ia mulai merasakan hal yang berbeda dengan
keadaan pendidikan sebelumnya. Kapitalisme pendidikan yang kemudian hanya
menjadi korban kaum kapitalis mulai ia rasakan disana. Guru-guru yang hanya
memberikan materi di kelas, tanpa memberikan ‘model’ bagi anak-anaknya. Nilai
menjadi satu gapaian paling tinggi, sehingga segala cara dilakukan untuk
menggapainya, hingga perilaku tak jujur dilakukan. Sistem kapitalis saat ia rasakan disana. Ya,
yang pintar semakin pintar, yang bodoh semakin bodoh, tanpa ada kepedulian bagi
mereka yang kurang menangkap pelajaran dengan cepat. Pendidikan karakter tak
sedikit pun ia rasakan.
Rasanya ia rindukan saat-saat guru itu lakukan esensi
sebenarnya, ia rindukan masa-masa SMP nya di Boarding School sana. Kecintaan
terhadapnya muncul dengan sendirinya berkat segala inspirasi yang diberikan.
Guru bagaikan tentara yang ikut berperang, dan ikut mengamankan keadaan dalam negri layaknya polisi.[3]
Guru
adalah sang pengubah kaum tak terdidik menjadi kaum yang terdidik. Yang
meluruskan saat anak didik sedang banyak mencoba jalur kanan kiri demi mencari
jati dirinya. Bukan mereka yang mendikte dengan membatasi segala kreatifitas
yang terdidik. Bukan pula mereka yang hanya mengeruk keuntungan dari anak
didik, lalu hendak lupakan segala kewajiban yang harus dijalankannya.
Simbol
Negara ini yakni burung Garuda nan gagah berani. Burung garuda tak akan terbang
melebarkan sayap saat Sang Pahlawan tak lakukan tugasnya dengan baik. Singkirkan kutu-kutu di sayapmu. Terbang lah
garudaku. Berkibarlah benderaku, singkirkan benalu di tiangmu, hey jangan ragu
dan jangan malu, bahwa sebenarnya kita mampu[4].
Yang dapat melebarkan sayap adalah mereka yang punya karakter benar dan ilmu yang
nalar. Indonesia butuh pemuda berkarakter benar dan berilmu nalar untuk hendak
melebarkan sayap burung Sang Garuda.
Berikan
aku seribu orang tua, niscaya akan ku cabut semeru dari akarnya, berikan aku
sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.[5]
Betapa berpengaruhnya sosok seorang pemuda, hingga jauh dari perumpamaan orang
tua. Jangan biarkan tiang bendera itu berdebu,
karena tak ada pemuda cerdas yang membersihkannya. Jangan biarkan tiang kokoh
itu runtuh karena Sang Pahlawan tak berikan ilmu terbaiknya kepada pemuda yang
akan menyokong kokoh tiang itu. Dan jangan biarkan bendera merah putih itu tak lagi
berkibar karena kehilangan pahlawan yang menjadi saksi berkibarnya Sang Merah
Putih.
Kami butuh sosok pahlawan tanpa tanda jasa, bukan
pahlawan berjas dan ‘berjasa’...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar