"Memaknai keyakinan, bukan sekedar hadir atas buah pesimis seorang hamba yang sudah lumpuh dengan tugasnya yaitu ikhtiar, tapi keyakinan dibangun atas ikhtiar panjang, memperkaya pengetahuan, mengusahakan kebaikan-kebaikan, hingga keyakinan menjadi buah keputusan terbaik untuk mengambil langkah selanjutnya"
Sumber sumber : http://kevinspear.com/children-cartoons/faith |
Rencananya mau mulai nulis tentang perjalanan
hidup lagi setelah menemukan fase-fase kehidupan ‘baru’, tapi ada saja alasan, hingga
baru kali ini ‘memaksakan’ untuk mulai nulis lagi, hehe. Anggap saja satu tahun yang lalu, Agustus 2017 kami memutuskan
untuk melanjutkan ke jenjang kehidupan berikutnya. Tepatnya di usia 23 tahun,
muda atau tua? Relatif, tergantung siapa yang memandang, karena sejatinya
setiap orang punya target waktu ‘kesiapan’ masing-masing. Yang jelas sebagai
warga Indonesia, sudah melewati umur ideal batasan minimal KUA. Setelah
mencapai umur tertentu, menikah bukan lagi tentang muda atau tua, tapi tentang
kesiapan yang tertanam dalam diri, kesiapan lahir batin. Kesiapan tidak lahir
dengan sendirinya, tapi atas ikhtiar dan doa yang tak henti dipanjatkan.
Ikhtiar setiap manusia memiliki corak tersendiri, kesiapan adalah tentang
keyakinan diri untuk melangkah, rasa yakin merupakan buah ikhtiar panjang dalam
setiap diri. Ilmu/pengetahuan adalah modal besar untuk menanamkan kesiapan
dalam diri, bukan hanya dalam melanjutkan jenjang pernikahan saja, tapi dalam
setiap jenjang kehidupan di dunia ini. Tidak usah terlena dengan keadaan yang
menggiring kita untuk memutuskan sesuatu karena sebatas dorongan perasaan sesaat
saja, karena kehidupan bukan sekedar tentang senang dan tidak senang untuk sesaat
juga, lebih dari itu, kebahagiaan disiapkan untuk hal yang kekal, ada yang
perlu disiapkan untuk menjadi baik dalam setiap tangga kehidupan yang dilewati.
Sejatinya, keunggulan manusia di dunia adalah ada pada setiap prosesnya,
ikhtiar!
Jenjang pernikahan adalah sebuah
tangga kehidupan yang dibangun atas visi misi dua insan dengan mengusahakan bekal
pengetahuan, yang kemudian menjadi sebuah keyakinan, kekuatan bersama. Pengetahuan
adalah tombak untuk membangun sebuah rumah tangga, dari rumah tangga, peradaban
akan dibangun. Jika pengetahuan menjadi pondasi utama dalam membangun rumah
tangga, maka belajar adalah ikhitiar tiada henti yang perlu dilakukan kedua
manusia sebagai insan yang hidup di dunia. Sebagai seorang muslim, harus
menyadari bahwa ayat quran yang turun pertama kali adalah tentang perintah
membaca (belajar, memahami), bukan yang lainnya. Iqro (bacalah, telitilah, pelajarilah), bismirobbik (dengan nama Tuhanmu), perintah membaca juga untuk
mengenal nama-nama Alloh, kemudian disandingkan dengan kalimat wa robbukal aqrom (Maha Pemurah,
semulia-mulianya), artinya membaca itu manfaatnya ganda, jika terus membaca,
mengulang-ngulang, maka Alloh akan memberi petunjuk pengetahuan. Tradisi
keilmuan sangat dekat dengan keislaman, sejatinya semakin luas pengetahuan
seseorang semakin mengenal Tuhannya, semakin dekat dengan Tuhannya, semakin
tawadhu atas keimanannya. Maka keyakinan untuk melanjutkan jenjang kehidupan
berikutnya adalah bagian dari keimanan yang dibangun atas ikhtiar memperkaya
pengetahuan. Iqro!
Keyakinan atas jalan yang diambil akan
menghadirkan kebaikan-kebaikan selanjutnya. Tidak salah pepatah jawa mengatakan
“sing penting yakin” (yang penting
yakin), karena bagi kita sebagai seorang muslim, memaknai keyakinan, bukan sekedar hadir atas buah pesimis seorang hamba yang sudah lumpuh dengan tugasnya yaitu
ikhtiar, tapi keyakinan dibangun atas ikhtiar panjang, memperkaya pengetahuan,
mengusahakan kebaikan-kebaikan, hingga keyakinan menjadi buah keputusan terbaik
untuk mengambil langkah selanjutnya. Kebaikan adalah prinsip yang dibangun
sejak lahir hingga berakhir kehidupan. Bukan sekedar akan melewati jenjang
kehidupan baru, hingga menikah menjadikan banyak beban untuk melakukan hal-hal (kebaikan)
yang –mungkin- seharusnya sudah biasa dilakukan. Salah satu ketakutan banyak
orang yang sering muncul untuk memutuskan keputusan besar menikah adalah karena
setelah nikah harus ini dan itu, tidak boleh ini dan itu, yang sejatinya
kebaikan-kebaikan itu sudah menjadi prinsip kehidupan sejak sebelum nikah. Padahal
tugas manusia sejak diciptakan di bumi sampai berakhir kehidupan tetap dan
tidak ada yang berubah, hanya perannya saja yang mengikuti fase kehidupan. Pada
prinsipnya tugas manusia adalah menjadi khalifah
fil ard (memakmurkan bumi) dan
beribadah kepada Alloh. Semua amalan yang dilakukan adalah dalam rangka untuk
mencapai keduanya, termasuk amalan-amalan yang dilakukan setelah ataupun
sebelum menikah, yakni mengusahakan kebaikan-kebaikan atas apa yang dilakukan.
Maka, taqwa adalah milik semua orang, tidak ditentukan oleh ‘kasta’ keluarga
sebagai suami, istri atau anak, hanya peran-peran kebaikannya saja yang
dilakukan sesuai fitrahnya (sifat dasar). Keluarga yang dibangun atas ketaqwaan
akan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirot), saling
mendukung dalam kebaikan untuk apapun dalam rangka mencapai ketaqwaan. Mari menjadi
baik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar