“Hanya Sang Penyesal Punya Akal yang Akan Menjadi
Tawakal” Saatnya Perbanyak Syukur
Bukan Kufur
Tok...tok...tok...
“Assalaamu’alaikum”
Lantunnya
syahdu. Suara salam merdu menyapaku di sore hari, saat senja mulai hiasi awan
di langit yang hendak saksikanku beradu ricuh dengan segenap kertas yang
berserakan di dalam kamar kosku. Tampaknya ada yang menyadarkanku dari pintu
itu.
“Wa’alaykumsalaam
Warahmatullah. Ya, monggo masuk”
“Waduh, ini
kamarmu udah kena gempa atau gimana Bos? Hehe..”
“Iya nih, banyak
target yang harus aku kejar Ney”
“Lah, kamu
udah ngerjain sampe mana, Day?”
“Anu, aku
baru sedikit, abisnya bingung apa aja yang mau ditulis.”ucapku bingung. “Hmm,
kenapa yah kerjaan akhir-akhir sekarang itu, tugas dikerjain ya dikerjain, tapi
gak karuan lah. Aku jadi stress sendiri” Jawabku sambil berhenti
mengerjakan paper itu dan kemudian membereskan sedikit demi sedikit kertas betebaran
yang menjadikan
kamarku bagai habis terkena goncangan dahsyat.
“Hmm... Bukannya
tugas paper itu masih ada kurun waktu lama buat ngumpulinnya ya? Ini malem
minggu, jangan terlalu dibawa serius. Refreshing pun perlu kawan.” Suasana enjoy kawanku meresap ke dalam aliran
darah ini saat ia hendak tepukan tangannya ke pundakku. Dan aku merasakan kalau
akhir-akhir ini aku memang terlalu serius menghadapi semuanya, tapi yang aku
dapatkan tak tulus dan tak mulus. Hingga semuanya berakhir gejala tipus.
“Iya nih,
gak tahu kenapa akhir-akhir ini aku stress sendiri karena terlalu ambisius
untuk menggapai semua target. Aku tak ingin penyesalan terhadap orang tuaku ini
kembali aku rasakan untuk yang kedua kalinya, Ney. Tapi sepertinya tubuh ini memang
sudah mulai berdemo untuk ingin diistirahatkan.” Ekspresi wajahku yang mulai
kusut dan lesu saat aku mulai mengingat penyesalan terhadap orang tuaku dulu.
“Eh, kamu
kenapa Day? Keliatannya kok stress banget?” tanya temanku. Dia adalah teman satu angkatan di
jurusanku, dan aku anggap dia adalah orang yang paling dewasa yang aku kenal di
angkatanku.
“Ah, kamu
ini. Gak apa-apa kok. Aku cuman lagi teringat sama penyesalanku dulu yang
jarang nurut sama orang tuaku, tepatnya Ayahku, yang sudah terlanjur tak bisa
membahagiakan secara kasat mata seperti sekarang ini.”
Riney
menatapku penuh arti. Senyumnya nampak berinteraksi dengan elektron dan proton
yang hendak bertebaran hingga membuat aku tidak seperti orang yang nyaman
disana. “Penyesalan yang kemudian menjadikan kamu lebih baik, itu memang hal
positif” ucapnya dengan senyum. “....tapi itu bukan alasan untuk kamu menjadi
orang yang tak punya batasan dalam menepis penyesalanmu Day” lanjutnya, sambil
kembali menepuk pundakku.
Aku memang
orang yang ambisius, hingga membuatku melakukan sesuatu tanpa batas. Dan
kemudian Allah menegurku dengan aku harus merasakan terdampar menjadi orang
yang tak punya aktivitas selama satu bulan penuh. Ya, orang bilang aku masih
menjadi orang yang besar pasak dari pada tiang. Keinginan, harapan, mimpi yang
tinggi dan potensi yang dimiliki tidak disetarakan dengan kebutuhan tubuh, yang
kemudian mereka pun perlu istirahat.
Aku
tersenyum kecil mendengar jawaban Riney sederhana. Tapi kata-kata itu sepenuhnya
tidak menghindarkan dari rasa penyesalanku yang sangat amat dalam. Dan
menganggap Riney tak merasakan apa yang aku rasakan. Maafkan aku Ayah, aku sangat menyesal...
***
Matahari bersinar
dari ufuk timur dan tenggelam dari barat sana. Bumi berputar dengan tetap
berada pada titik edarnya, tanpa bertubrukan satu dengan yang lainnya. Tak ada
yang mampu menyalahi aturan main yang telah Allah Sang Pencipta Pemilik Alam
Raya ini, hingga jika saatnya datang, Allah menjemput orang di sekeliling kita
pun itu adalah aturan main Allah yang pastinya tak dapat disalahkan.
“Hari Minggu kali ini mau berkeringat lewat apa?
Badminton? Tenis meja? Lari? Basket? Bersepedah?” pertanyaan rutin ini selalu
Ayah berikan saat hari hari Minggu tiba.
Ayah selalu mengajak kami bermain, ya bermain yang
kemudian menjadikannya sebuah hobi bagi kami. Selain itu ayah selalu mengajari
kami menggambar, menulis, membaca, bahkan Ayah selalu berikan apa yang kami
inginkan saat itu menjadi satu hal yang membuahkan suatu potensi. Bukan hanya
itu, sikap moril yang selalu ayah ajarkan pun tak hanya berhenti sampai
mengajarkan, tapi Ia lakukan dengan
segala sikap yang menjadi panutan bagi kami. Ah, tapi aku tak pernah memberikan sesuatu yang mengagumkan.
“Ayah lah, please
ya pagi ini aku pengen tidur. Jangan gangguin aku terus lah. Udah bangunnya
pagi, abis shalat subuh ngaji, dan abis itu masa ngga boleh tidur lagi. Temen
aku aja bangunnya jam 06.00 pagi ayah” sambil menutup telinga dengan bantal. Ayah selalu punya trik
agar subuh itu kami tidak tidur, Ia terus ganggu kami dengan apapun itu.
“Mau jadi
anak Ayah yang ganteng atau mau jadi anak Bapaknya temenmu nih?” canda ayah
untuk kita tetap bangun tak pernah ada habisnya, bahkan setiap setelah mengaji
ayah selalu sengaja membesarkan volume lagu-lagu nasyid itu. Dan akhirnya kami
terpaksa untuk melek.
Semua yang
ayah ajarkan itu sangat berguna kelak aku tak lagi hidup sehari-hari bersama
keluarga. Bahkan saat aku di pondok dulu aku diamanahi menjadi orang pertama
saat mengemban amanah. Itu semua karena didikan orang tuaku di rumah. Ah, tapi aku tak pernah memberikan
sesuatu yang mengagumkan.
Bangku SMA
(Sekolah Menengah Atas) menjadi cerita awal aku berada disini Universitas Ayah
dan Ibu dulu. Saat itu aku berada di sekolah yang tak sama seperti kebanyakan
orang disana, orang yang aku lihat saat bangun dan menjelang tidur adalah
teman-teman atau adik-adik kelas atau kakak-kakak kelas ku, maka mereka sudah
seperti saudara sendiri. Ya, tentunya saudara yang selalu ingin saling mengetahui
segala keadaan tentang saudaranya sendiri.
Bercerita
bukan lagi hal yang asing bagi kami, refleksi mulut untuk bercerita tak lagi
harus mendapat suruhan dari hati yang sedang mendapatkan kegalauan, tapi
semuanya hendak selalu kami ceritakan. “Setelah ikan yang jadi hobi peliharaan
ayahku, liburan kali ini hobi ayahku nambah lagi nih, peliharaan di rumah jadi
banyak bebek-bebek. Tapi gak apa-apa sih, jadi kalau kalian pada main kesana
bisa makan bakar bebek hehe” cerita Fajir salah satu teman di Kota Kembang
sana.
Bahkan sering
sekali kita bercerita panjang lebar tentang keadaan keluarganya masing-masing.
Ya, bercerita tentang hebatnya sang Ayah, kehebatan sang Ibu, hingga Adik dan
Kakakku pun sering juga menjadi topik ceritaku. Dan aku termasuk orang yang
paling sering bercerita tentang segala keadaanku.
Matahari
yang mulai menyinari bumi, kehangatan alam meresap ke dalam aliran darah. Suara
burung di atas sana, ayam berkokok di ujung sana menjadi saksi nyata bahwa hari
telah pagi. Hari itu teman-temanku memang sudah mengetahui keadaan ayahku “Apa
kabar Ayah mu sekarang, Day?” tanya teman-temanku saat di pondok dulu.
“Terakhir dapat
kabar sih masih tetep di ruang ICU”
Mereka
berencana untuk menengok ayahku, dan Allah memang memudahkan apa yang menjadi
niat baik hamba-Nya. Mendapatkan surat izin mendadak tidak sulit saat itu. Dan
kemudian kita langsung melanjutkan perjalanan ke rumah sakit di Kota Udang
sana.
“Assalaamu’alaikum”
lantun salam kami mengagetkan Ibu dan Ayahku, karena sengaja aku tak beri tahu
kami akan menengok ke tempat itu.
“Wa’alaykumsalaam
warahmatullah” jawab Ibuku tersenyum gembira melihat kami menengok ayah.
“Apa kabar
Bapak sekarang Bu?” tanya Rizal salah satu temanku, yang selalu satu sekolah
denganku sampai SMA.
“Belum bisa
pindah ke ruangan, tapi sekarang udah mulai ada perubahan dari sebelumnya sih. Doain
aja ya dek” jawab Ibuku dengan senyum tabahnya. Bagiku Ia adalah Ibu yang
paling tabah, paling kuat yang pernah aku kenal. Bagiku dia adalah sang wonder women. Ia selalu tabah, Ia selalu
tegar dalam menghadapi ujian keluarga ini. Di kala ayah sakit, Ibu selalu berikan
ketenangan agar anaknya tetap fokus mencari ilmu. Ah,
tapi aku tak pernah memberikan sesuatu yang mengagumkan.
Senja mulai
menyelimuti awan di langit. Matahari pamit untuk hendak berganti menjadi gelap,
tanda malam sudah mulai datang. Maka kami bersiap-siap untuk pulang dan
memutuskan untuk beristirahat di rumahku. Saat di perjalanan, telepon genggamku
bergetar, tanda SMS masuk “Ummi”. Ya, itu adalah nama kontak Ibu di telepon
genggamku. “Alhamdulillah, ayah udah bisa pindah ke ruangan, bahkan dokter
bilang kalau kondisinya terus baik seperti ini, besok atau lusa pun boleh
pulang ke rumah, terus do’ain ya, Kak. Harus selalu ingat kalau anak yang
selalu mendoakan orang tuanya itu termasuk amal yang tidak akan terputus”
Saat itu obat
jiwa memang lebih ampuh dari pada obat resep yang dokter berikan. Ibu bilang
bahwa saat ayah ditengok oleh orang yang baginya berarti, Ia selalu mengalami
perbaikan dalam keadaannya.
“Alhamdulillah
kondisi ayahku membaik kawan, makasih ya” aku beritahukan kebahagiaan tak
terkira, rasa syukur ini kepada teman-temanku yang menengok tadi. Kelegaan hati
untuk tetap menimba ilmu di Kota Perantauan sana semakin tenang.
Ayahku
memang mulai merasakan sakitnya saat ia masih kuliah, tapi entahlah, ayah
jarang hiraukan hal itu. Ia selalu semangat dalam melakukan segala hal,
sehingga teman-temannya pun tak pernah khawatir dengannya.
Sejak aku
kelas 2 di bangku SD (Sekolah Dasar), Ayahku mulai di fonis terserang penyakit
batu ginjal, dan mulai saat itu tahun 2002 sampai tahun 2011, operasi bukan
lagi menjadi hal yang asing bagi Ayahku. Dua ginjalnya sudah sering berjumpa
dengan semua alat operasi, hingga di tahun 2010, Ayah harus kehilangan satu
organ tubuh yang sangat vital. Ya, ginjal sebelah kanannya. Ayah harus menopang
hidup dengan satu ginjal sebelah kirinya dan dengan fungsi yang tidak maksimal,
karena infeksi saat operasi pertama dulu. Maka dari itu ayah mulai difonis
untuk melakukan cuci darah satu minggu dua kali.
“Bukannya
yang menjemputmu dan membawakan raport dulu itu Ayahmu?” tanya
Adel teman dekat ku saat di Pondok dulu.
“Ya, itu
Ayahku” jawabku singkat. Nampaknya membuat temanku kebingungan, karena Ia tahu
bahwa ayahku sudah mengidap sakit sejak lama, tapi Ayahku tetap terlihat
seperti layaknya orang sehat.
“Bukannya
Ayahmu sakit?” tanya Adel, yang semakin penasaran.
“Iya, ayahku
memang punya semangat hidup tinggi Del. Meskipun Ia sakit sejak lama, tapi saat
Ia sedang sembuh, selalu Ia pergunakan waktunya untuk beraktivitas, yang
tentunya bermanfaat bagi orang lain. Ayahku tetap beraktivitas seperti orang
sehat biasanya”
Esok hari
sang fajar lambaikan kami untuk segera pergi merantau kembali. Kemudian kami
kembali pulang ke kota perantauan. Ketenangan menyelimuti perjalanan hamba
menuju kota perantauan sana.
Hari itu
hari Selasa sore Aku, Ibu dan Ayahku berbincang lewat telepon genggam. Kami
tertawa mendengar ayah yang kemudian sudah kembali bercanda. Sore itu bahagia,
sangat bahagia dan senja pun menyaksikan kebahagiaan kami. “udah dulu yah, Ibu
belum masak buat makan malam nanti. Belajar yang rajin ya Nak”
Sore
selanjutnya adalah sore di hari Rabu. Sore itu bagaikan bidang equator yang
diputar 360 derajat, semuanya berbalik arah. “Dek, bisa pulang sekarang?” tegur
saudaraku yang tak biasanya ingin menjemput aku ke Pondok.
“Loh? Kayanya
gak bisa Ka, karena minggu kemaren kan udah izin nengok Ayah.”
“Udahlah
bisa kok, sekarang kamu beres-beres aja ke kamar, masalh perizinan nanti aku
yang minta izin aja” aku mulai bingung, sepertinya ada yang disembunyikan.
Saat
perjalanan pulang ke rumah, suasana duka sudah aku rasakan. Firasatku sudah mengarah
tidak enak, otak-otak ini mulai berpikir tertuju pada firasat itu. Walau
saudaraku belum memberi tahu dengan jelas kepadaku. Tapi firasat ini mengatakan
tepat dan tak lagi hanya sebuah tebakkan. Karena saat itu pun kakakku
memberitahukan hal itu.
Bendera
kuning itu melambai, hal ini seperti mimpi. Rumahku nampak mulai dipadati
banyak orang, dan aku melihat sebuah keranda di sana. Suasana ini mirip dengan
suasana yang aku bayangkan saat renungan atau seminar yang dulu, aku terisak
menagis. Dan saat aku melihat semuanya dengan nyata aku tidak meneteskan air
mata, semua ini masih teras seperti mimpi, bahkan seperti aku sedang membayangkan
saat renungan itu. Apakah aku masih
terhanyut dalam nyamannya seminar ataukah renungan?
Adikku
menarik dari mobil untuk cepat keluar dan menarikku untuk memperlihatkan bahwa
yang di keranda itu adalah Ayah. “Yang tabah ya Ka, yang kuat. Allah sayang ayah,
jadi Allah panggil ayah duluan dari pada kita. Ibu yakin kamu kuat, kamu orang
yang dekat dengan ayahmu, Ibu yakin ayah sudah memberimu bekal yang banyak.”ucap
Ibu sambil memeluk aku. Tak tertahan air mata ini untuk tidak menetes saat ibu
hendak memeluk erat tubuhku. Aku membayangkan adikku yang masih kecil ia tak
sempat mendapatkan bekal penting dari ayah dalam menghadapi masa remajanya. Kekhawatiran
ini menjadi tanggung jawab aku dan kakakku sebagai dua kakaknya.
“Mau lihat
ayah gak Ka?”tanya Ibu dengan segenap ketegarannya.
“Nanti aja Bu,
nunggu Kakak dateng” nampaknya aku tak berani membukanya sendiri, aku takut tak
dapat menahan isak tangis ini saat kain putih itu dibuka.
Tak lama
kemudian, Kakakku datang. Dan kemudian memeluk Ibu “kamu sekarang jadi
pengganti ayah Ka, menjadi imam di rumah ini, membimbing adik-adikmu yang masih
sangat butuh tuntunan dalam hidupnya. Kamu harus lebih kuat dari adik-adikmu ya
Ka. Kakak harus sayang sama Ibu dan Adik-adikmu ya”
Isak tangis
ini tak tertahan saat Ibu memeluk kakakku. Dan menawarkan untuk melihat ayah,
kemudian aku ikut melihatnya dengan kakaku. Kain kafan di buka, aku masih
mencubit-cubit kulit ku. Apakah aku masih
terhanyut dalam renungan itu? Sayang, tapi ini adalah nyata, sekarang di
depan mataku adalah ayah yang setiap lubangnya sudah dimasukkan kapas. Semoga ayah tersenyum meliat kami, kecupan
manis terakhir ini kami kecupkan untuk yang terakhir kalinya di jidatmu,
selamat jalan ayah...
***
“Allah lebih
menyukai muslim/muslimah yang kuat dari pada yang lemah” Ia selalu mengingatkan
hal ini, dengan senyumnya yang penuh amanah.
“Kamu tahu
saat motor hendak diparkirkan dan kita pemiliknya pergi bermain ke supermarket,
minimarket, toko, swalayan atau yang lainnya? Dan tukang parkir yang menjaga
motor kita. Nah, kita itu bagaikan tukang parkir yang sedang menjaga
motor-motor milik orang lain dengan segenap tanggung jawab yang ada. Walau itu
motor balap atau motor mahal sekalipun, tukang parkir harus tetap rela saat
pemiliknya hendak kembali mengambil motor tersebut” Ucap ayahku dulu yang
sering sekali menceritakan filosofi ini.
”Jadi semuanya
itu punya Allah, semuanya itu milik Allah Nak. Saat diantara kita ada yang
diambil duluan oleh Pemiliknya, maka kita harus ikhlas, harus tabah, harus
kuat. Harus kuat ya? Kita hanya mendapat amanah untuk saling menjaga. Allah
yang berhak lah yang memiliki kita” Pesan yang sering ayah sampaikan ini
menjadi peredam air mata yang terus mengalir. Ah,
tapi aku tak pernah memberikan sesuatu yang mengagumkan.
Ayah adalah
orang paling semangat yang pernah aku kenal, meski sedang sakit ia selalu
sempatkan untuk lakukan kewajibannya mengajar, dan selalu sempatkan pula
mengajak anak-anaknya bermain sambil belajar. Selalu ada saja keinginan untuk
bahagiakan anak-anaknya walau aku tahu ia sedang sakit.
Ah, aku tak
pernah memberikan sesuatu yang mengagumkan. Hingga Saat ayah
sakit dan menyuruhku untuk memijat tubuhnya, aku masih enggan memijatnya. Satu
kalimat yang sangat aku sesali pada waktu itu adalah “nanti aja, Yah”. Padahal
kapan lagi kalau berbakti kepada orang tua kalau bukan sekarang, berbakti
dengan melakukan hal yang kecil atau mudah saja masih sulit, apalagi jika harus
berbakti dengan hal yang besar. Padahal aku tahu ayah sudah jatuh sakit sejak
2002, tapi tetap saja masih
enggan
berbakti. Ah, aku tak pernah mem berikan hal yang mengagumkan.
***
“Setelah itu
aku seperti orang yang menyalahkan takdir, Ney. Tuhan mengambil orang yang
sering jadi tokoh utama dalam ceritaku kepada teman-teman. Bahkan aku sempat
menganggap Tuhan tidak adil. Astagfirullah...
Mengapa teman-temanku berbahagia dengan keadaan keluarga yang lengkap. Sedangkan
aku? Sejak saat itu aku tak lagi seperti dulu, orang yang mengawali cerita-ceritaku
dengan teman-teman, sekarang aku hanya menjadi pendengar setia” Rasanya iri
saat melihat temanku yang kembali ke pondok diantarkan oleh Ayahnya, kecupan
manis yang hendak ayahnya berikan saat ia akan kembali mencari ilmu.
“Ah, kamu
ini Day. Aku yakin, sikapmu saat ini tak seburuk yang kau ceritakan. Aku tahu
kamu, kamu orang yang banyak mengerti segala hal, termasuk hal agama. Dan aku
yakin kamu masih bisa bersyukur kan?”
“Hmm.. Gak tahu Ney. Yang aku inget waktu itu
adalah aku sering iri sama temen-temen” jawabku singkat dan Riney menjawab
dengan senyum yang nampaknya punya arti.
“Liday, kamu
tahu gak?...” ucapnya ringan kepadaku “kalau kamu merasakan penyesalan yang
mendalam, justru aku tak pernah merasakan sedikit penyesalan pun, bukan karena aku selalu menuruti
perintahnya, tapi aku tak pernah merasakan semua yang pernah kamu rasakan dulu, saat kamu sempat merasakan kenangan indah bersama ayahmu. Ayahku meninggal karena
terkena serangan paru-paru sejak aku TK dulu. Ya, masa TK mungkin mengetahui pun
masih sulit, apalagi untuk mengenalnya.”
Hancur
hatiku saat mendengarnya. Tak tertahan air mata ini ingin menetes bersama
bungkamnya mulut yang tak bisa lagi berkata-kata. Ah,
aku benar-benar tak pernah memberikan sesuatu yang mengagumkan.
“Day, sebenarnya
yang membuat hidup jadi lebih indah itu adalah saat kita selalu bersyukur dalam
setiap keadaan yang diberikan oleh-Nya. Penyesalan bukan untuk disesali, tapi
untuk kembali bangkit.”ucapnya bijak. “Tapi bangkit dari penyesalan itu tak
harus bebas tanpa batas, semuanya punya batasan. Batas ambisi, batas semangat,
batas kerja keras, dan lain-lain. Jangan
sampai jalan yang kemudian kamu ambil malah menambah penyesalanmu karena ulahmu
sendiri. Allah pun gak suka sama segala sesuatu yang berlebih-lebihan kan?”
Hari itu adalah hari yang sejuk di tengah sibuknya tugas kampus.
Aku tengah menangis syahdu, kala di hadapanku ada sesosok sahabat hangat yang luar
biasa. Membuat
mengingatkanku untuk tidak berbuat kufur dan teruslah bersyukur. Di
seberang sana, jauh di seberang sana, segenggam hati suci milik Ayah dan Ibu tengah tersenyum. Senyum keyakinan, bahwa anaknya disini
akan belajar banyak dari kehidupan. Hari ini adalah hari penuh syahdu, Sang Penyesal yang tak punya akal
akan sia-siakan semangat dan potensi yang ada hidup yang ada. Tapi Sang Penyesal
yang punya akal akan menjadikannya tawakal dalam menghadapi semua jalan hidup
ini.
bagus lagh menurutku,..
BalasHapusOrang-orang yang beriman adalah orang-orang yang memiliki kepercayaan sepenuhnya bahwa setiap peristiwa yang terjadi merupakan Kehendak Allah, dan apa pun yang menimpa mereka juga atas Kehendak Allah. Hal ini menjelaskan betapa mereka memiliki kepercayaan penuh dan tidak berputus asa pada Tuhan serta melaksanakan ibadah untuk memperoleh ketenangan, pada waktu-waktu yang utama, baik ketika berada dalam masalah atau ketika mereka melakukan kesalahan. Ketika melakukan kesalahan, orang beriman segera bertobat dengan tulus dan berharap ampunan dari Allah. Oleh karena itu, ia tidak mengalami penderitaan batin yang amat sulit dan penyesalan hidup yang berkepanjangan. Penyesalan yang dirasakan oleh orang beriman mendesak mereka untuk bertobat, untuk menyucikan diri dan mencegah mereka untuk mengulangi kesalahan ini. Hal ini membantu mereka memperbaiki kesalahan mereka dan mencegah mereka terjun ke dalam suasana hati yang amat sulit dan pesimis. Selain itu, penyesalan ini tidak mengurangi antusiasme mereka, pengabdian, atau semangat keagamaan, dan juga tidak menyeret mereka pada sebuah lingkaran ketakutan dan depresi.
:^D^: sip sip ... makasih mas ..
HapusT_T aku membacanya disaat yang tepat, thanks Hal buat 'pelajarannya' :')
BalasHapussama2 ti.. alhamdulillah kalo bermanfaat :-)
BalasHapuseh minta no ti hehe
Kok sepertinya lama gax update..
Hapusvisitback http://www.santri-indigo.com/