Beranda

Followers

Senin, 20 Mei 2013

Hanya Sang Penyesal Punya Akal yang Akan Menjadi Tawakal


 “Hanya Sang Penyesal Punya Akal yang Akan Menjadi Tawakal” Saatnya Perbanyak Syukur Bukan Kufur

Tok...tok...tok...

“Assalaamu’alaikum” Lantunnya syahdu. Suara salam merdu menyapaku di sore hari, saat senja mulai hiasi awan di langit yang hendak saksikanku beradu ricuh dengan segenap kertas yang berserakan di dalam kamar kosku. Tampaknya ada yang menyadarkanku dari pintu itu.

“Wa’alaykumsalaam Warahmatullah. Ya, monggo masuk”

“Waduh, ini kamarmu udah kena gempa atau gimana Bos? Hehe..”

“Iya nih, banyak target yang harus aku kejar Ney”

“Lah, kamu udah ngerjain sampe mana, Day?”

“Anu, aku baru sedikit, abisnya bingung apa aja yang mau ditulis.”ucapku bingung. “Hmm, kenapa yah kerjaan akhir-akhir sekarang itu, tugas dikerjain ya dikerjain, tapi gak karuan lah. Aku jadi stress sendiri” Jawabku sambil berhenti mengerjakan paper itu dan kemudian membereskan sedikit demi sedikit kertas betebaran yang menjadikan kamarku bagai habis terkena goncangan dahsyat.

“Hmm... Bukannya tugas paper itu masih ada kurun waktu lama buat ngumpulinnya ya? Ini malem minggu, jangan terlalu dibawa serius. Refreshing pun perlu kawan.” Suasana enjoy kawanku meresap ke dalam aliran darah ini saat ia hendak tepukan tangannya ke pundakku. Dan aku merasakan kalau akhir-akhir ini aku memang terlalu serius menghadapi semuanya, tapi yang aku dapatkan tak tulus dan tak mulus. Hingga semuanya berakhir gejala tipus.

“Iya nih, gak tahu kenapa akhir-akhir ini aku stress sendiri karena terlalu ambisius untuk menggapai semua target. Aku tak ingin penyesalan terhadap orang tuaku ini kembali aku rasakan untuk yang kedua kalinya, Ney. Tapi sepertinya tubuh ini memang sudah mulai berdemo untuk ingin diistirahatkan.” Ekspresi wajahku yang mulai kusut dan lesu saat aku mulai mengingat penyesalan terhadap orang tuaku dulu.

“Eh, kamu kenapa Day? Keliatannya kok stress banget?” tanya temanku. Dia adalah teman satu angkatan di jurusanku, dan aku anggap dia adalah orang yang paling dewasa yang aku kenal di angkatanku.
“Ah, kamu ini. Gak apa-apa kok. Aku cuman lagi teringat sama penyesalanku dulu yang jarang nurut sama orang tuaku, tepatnya Ayahku, yang sudah terlanjur tak bisa membahagiakan secara kasat mata seperti sekarang ini.”

Riney menatapku penuh arti. Senyumnya nampak berinteraksi dengan elektron dan proton yang hendak bertebaran hingga membuat aku tidak seperti orang yang nyaman disana. “Penyesalan yang kemudian menjadikan kamu lebih baik, itu memang hal positif” ucapnya dengan senyum. “....tapi itu bukan alasan untuk kamu menjadi orang yang tak punya batasan dalam menepis penyesalanmu Day” lanjutnya, sambil kembali menepuk pundakku.

Aku memang orang yang ambisius, hingga membuatku melakukan sesuatu tanpa batas. Dan kemudian Allah menegurku dengan aku harus merasakan terdampar menjadi orang yang tak punya aktivitas selama satu bulan penuh. Ya, orang bilang aku masih menjadi orang yang besar pasak dari pada tiang. Keinginan, harapan, mimpi yang tinggi dan potensi yang dimiliki tidak disetarakan dengan kebutuhan tubuh, yang kemudian mereka pun perlu istirahat.

Aku tersenyum kecil mendengar jawaban Riney sederhana. Tapi kata-kata itu sepenuhnya tidak menghindarkan dari rasa penyesalanku yang sangat amat dalam. Dan menganggap Riney tak merasakan apa yang aku rasakan. Maafkan aku Ayah, aku sangat menyesal...

***


Matahari bersinar dari ufuk timur dan tenggelam dari barat sana. Bumi berputar dengan tetap berada pada titik edarnya, tanpa bertubrukan satu dengan yang lainnya. Tak ada yang mampu menyalahi aturan main yang telah Allah Sang Pencipta Pemilik Alam Raya ini, hingga jika saatnya datang, Allah menjemput orang di sekeliling kita pun itu adalah aturan main Allah yang pastinya tak dapat disalahkan.

“Hari Minggu kali ini mau berkeringat lewat apa? Badminton? Tenis meja? Lari? Basket? Bersepedah?” pertanyaan rutin ini selalu Ayah berikan saat hari hari Minggu tiba.

Ayah selalu mengajak kami bermain, ya bermain yang kemudian menjadikannya sebuah hobi bagi kami. Selain itu ayah selalu mengajari kami menggambar, menulis, membaca, bahkan Ayah selalu berikan apa yang kami inginkan saat itu menjadi satu hal yang membuahkan suatu potensi. Bukan hanya itu, sikap moril yang selalu ayah ajarkan pun tak hanya berhenti sampai mengajarkan, tapi Ia lakukan  dengan segala sikap yang menjadi panutan bagi kami. Ah, tapi aku tak pernah memberikan sesuatu yang mengagumkan.

“Ayah lah, please ya pagi ini aku pengen tidur. Jangan gangguin aku terus lah. Udah bangunnya pagi, abis shalat subuh ngaji, dan abis itu masa ngga boleh tidur lagi. Temen aku aja bangunnya jam 06.00 pagi ayah” sambil menutup telinga dengan bantal. Ayah selalu punya trik agar subuh itu kami tidak tidur, Ia terus ganggu kami dengan apapun itu.

“Mau jadi anak Ayah yang ganteng atau mau jadi anak Bapaknya temenmu nih?” canda ayah untuk kita tetap bangun tak pernah ada habisnya, bahkan setiap setelah mengaji ayah selalu sengaja membesarkan volume lagu-lagu nasyid itu. Dan akhirnya kami terpaksa untuk melek.

Semua yang ayah ajarkan itu sangat berguna kelak aku tak lagi hidup sehari-hari bersama keluarga. Bahkan saat aku di pondok dulu aku diamanahi menjadi orang pertama saat mengemban amanah. Itu semua karena didikan orang tuaku di rumah. Ah, tapi aku tak pernah memberikan sesuatu yang mengagumkan.

Bangku SMA (Sekolah Menengah Atas) menjadi cerita awal aku berada disini Universitas Ayah dan Ibu dulu. Saat itu aku berada di sekolah yang tak sama seperti kebanyakan orang disana, orang yang aku lihat saat bangun dan menjelang tidur adalah teman-teman atau adik-adik kelas atau kakak-kakak kelas ku, maka mereka sudah seperti saudara sendiri. Ya, tentunya saudara yang selalu ingin saling mengetahui segala keadaan tentang saudaranya sendiri.

Bercerita bukan lagi hal yang asing bagi kami, refleksi mulut untuk bercerita tak lagi harus mendapat suruhan dari hati yang sedang mendapatkan kegalauan, tapi semuanya hendak selalu kami ceritakan. “Setelah ikan yang jadi hobi peliharaan ayahku, liburan kali ini hobi ayahku nambah lagi nih, peliharaan di rumah jadi banyak bebek-bebek. Tapi gak apa-apa sih, jadi kalau kalian pada main kesana bisa makan bakar bebek hehe” cerita Fajir salah satu teman di Kota Kembang sana.

Bahkan sering sekali kita bercerita panjang lebar tentang keadaan keluarganya masing-masing. Ya, bercerita tentang hebatnya sang Ayah, kehebatan sang Ibu, hingga Adik dan Kakakku pun sering juga menjadi topik ceritaku. Dan aku termasuk orang yang paling sering bercerita tentang segala keadaanku.

Matahari yang mulai menyinari bumi, kehangatan alam meresap ke dalam aliran darah. Suara burung di atas sana, ayam berkokok di ujung sana menjadi saksi nyata bahwa hari telah pagi. Hari itu teman-temanku memang sudah mengetahui keadaan ayahku “Apa kabar Ayah mu sekarang, Day?” tanya teman-temanku saat di pondok dulu.

“Terakhir dapat kabar sih masih tetep di ruang ICU”
Mereka berencana untuk menengok ayahku, dan Allah memang memudahkan apa yang menjadi niat baik hamba-Nya. Mendapatkan surat izin mendadak tidak sulit saat itu. Dan kemudian kita langsung melanjutkan perjalanan ke rumah sakit di Kota Udang sana.

“Assalaamu’alaikum” lantun salam kami mengagetkan Ibu dan Ayahku, karena sengaja aku tak beri tahu kami akan menengok ke tempat itu.

“Wa’alaykumsalaam warahmatullah” jawab Ibuku tersenyum gembira melihat kami menengok ayah.

“Apa kabar Bapak sekarang Bu?” tanya Rizal salah satu temanku, yang selalu satu sekolah denganku sampai SMA.

“Belum bisa pindah ke ruangan, tapi sekarang udah mulai ada perubahan dari sebelumnya sih. Doain aja ya dek” jawab Ibuku dengan senyum tabahnya. Bagiku Ia adalah Ibu yang paling tabah, paling kuat yang pernah aku kenal. Bagiku dia adalah sang wonder women. Ia selalu tabah, Ia selalu tegar dalam menghadapi ujian keluarga ini. Di kala ayah sakit, Ibu selalu berikan ketenangan agar anaknya tetap fokus mencari ilmu. Ah, tapi aku tak pernah memberikan sesuatu yang mengagumkan.

Senja mulai menyelimuti awan di langit. Matahari pamit untuk hendak berganti menjadi gelap, tanda malam sudah mulai datang. Maka kami bersiap-siap untuk pulang dan memutuskan untuk beristirahat di rumahku. Saat di perjalanan, telepon genggamku bergetar, tanda SMS masuk “Ummi”. Ya, itu adalah nama kontak Ibu di telepon genggamku. “Alhamdulillah, ayah udah bisa pindah ke ruangan, bahkan dokter bilang kalau kondisinya terus baik seperti ini, besok atau lusa pun boleh pulang ke rumah, terus do’ain ya, Kak. Harus selalu ingat kalau anak yang selalu mendoakan orang tuanya itu termasuk amal yang tidak akan terputus”

Saat itu obat jiwa memang lebih ampuh dari pada obat resep yang dokter berikan. Ibu bilang bahwa saat ayah ditengok oleh orang yang baginya berarti, Ia selalu mengalami perbaikan dalam keadaannya.

“Alhamdulillah kondisi ayahku membaik kawan, makasih ya” aku beritahukan kebahagiaan tak terkira, rasa syukur ini kepada teman-temanku yang menengok tadi. Kelegaan hati untuk tetap menimba ilmu di Kota Perantauan sana semakin tenang.

Ayahku memang mulai merasakan sakitnya saat ia masih kuliah, tapi entahlah, ayah jarang hiraukan hal itu. Ia selalu semangat dalam melakukan segala hal, sehingga teman-temannya pun tak pernah khawatir dengannya.
Sejak aku kelas 2 di bangku SD (Sekolah Dasar), Ayahku mulai di fonis terserang penyakit batu ginjal, dan mulai saat itu tahun 2002 sampai tahun 2011, operasi bukan lagi menjadi hal yang asing bagi Ayahku. Dua ginjalnya sudah sering berjumpa dengan semua alat operasi, hingga di tahun 2010, Ayah harus kehilangan satu organ tubuh yang sangat vital. Ya, ginjal sebelah kanannya. Ayah harus menopang hidup dengan satu ginjal sebelah kirinya dan dengan fungsi yang tidak maksimal, karena infeksi saat operasi pertama dulu. Maka dari itu ayah mulai difonis untuk melakukan cuci darah satu minggu dua kali.

“Bukannya yang menjemputmu dan membawakan raport dulu itu Ayahmu?” tanya Adel teman dekat ku saat di Pondok dulu.

“Ya, itu Ayahku” jawabku singkat. Nampaknya membuat temanku kebingungan, karena Ia tahu bahwa ayahku sudah mengidap sakit sejak lama, tapi Ayahku tetap terlihat seperti layaknya orang sehat.

“Bukannya Ayahmu sakit?” tanya Adel, yang semakin penasaran.

“Iya, ayahku memang punya semangat hidup tinggi Del. Meskipun Ia sakit sejak lama, tapi saat Ia sedang sembuh, selalu Ia pergunakan waktunya untuk beraktivitas, yang tentunya bermanfaat bagi orang lain. Ayahku tetap beraktivitas seperti orang sehat biasanya”

Esok hari sang fajar lambaikan kami untuk segera pergi merantau kembali. Kemudian kami kembali pulang ke kota perantauan. Ketenangan menyelimuti perjalanan hamba menuju kota perantauan sana.

Hari itu hari Selasa sore Aku, Ibu dan Ayahku berbincang lewat telepon genggam. Kami tertawa mendengar ayah yang kemudian sudah kembali bercanda. Sore itu bahagia, sangat bahagia dan senja pun menyaksikan kebahagiaan kami. “udah dulu yah, Ibu belum masak buat makan malam nanti. Belajar yang rajin ya Nak”

Sore selanjutnya adalah sore di hari Rabu. Sore itu bagaikan bidang equator yang diputar 360 derajat, semuanya berbalik arah. “Dek, bisa pulang sekarang?” tegur saudaraku yang tak biasanya ingin menjemput aku ke Pondok.

“Loh? Kayanya gak bisa Ka, karena minggu kemaren kan udah izin nengok Ayah.”

“Udahlah bisa kok, sekarang kamu beres-beres aja ke kamar, masalh perizinan nanti aku yang minta izin aja” aku mulai bingung, sepertinya ada yang disembunyikan.

Saat perjalanan pulang ke rumah, suasana duka sudah aku rasakan. Firasatku sudah mengarah tidak enak, otak-otak ini mulai berpikir tertuju pada firasat itu. Walau saudaraku belum memberi tahu dengan jelas kepadaku. Tapi firasat ini mengatakan tepat dan tak lagi hanya sebuah tebakkan. Karena saat itu pun kakakku memberitahukan hal itu.

Bendera kuning itu melambai, hal ini seperti mimpi. Rumahku nampak mulai dipadati banyak orang, dan aku melihat sebuah keranda di sana. Suasana ini mirip dengan suasana yang aku bayangkan saat renungan atau seminar yang dulu, aku terisak menagis. Dan saat aku melihat semuanya dengan nyata aku tidak meneteskan air mata, semua ini masih teras seperti mimpi, bahkan seperti aku sedang membayangkan saat renungan itu. Apakah aku masih terhanyut dalam nyamannya seminar ataukah renungan?

Adikku menarik dari mobil untuk cepat keluar dan menarikku untuk memperlihatkan bahwa yang di keranda itu adalah Ayah. “Yang tabah ya Ka, yang kuat. Allah sayang ayah, jadi Allah panggil ayah duluan dari pada kita. Ibu yakin kamu kuat, kamu orang yang dekat dengan ayahmu, Ibu yakin ayah sudah memberimu bekal yang banyak.”ucap Ibu sambil memeluk aku. Tak tertahan air mata ini untuk tidak menetes saat ibu hendak memeluk erat tubuhku. Aku membayangkan adikku yang masih kecil ia tak sempat mendapatkan bekal penting dari ayah dalam menghadapi masa remajanya. Kekhawatiran ini menjadi tanggung jawab aku dan kakakku sebagai dua kakaknya.

“Mau lihat ayah gak Ka?”tanya Ibu dengan segenap ketegarannya.

“Nanti aja Bu, nunggu Kakak dateng” nampaknya aku tak berani membukanya sendiri, aku takut tak dapat menahan isak tangis ini saat kain putih itu dibuka.

Tak lama kemudian, Kakakku datang. Dan kemudian memeluk Ibu “kamu sekarang jadi pengganti ayah Ka, menjadi imam di rumah ini, membimbing adik-adikmu yang masih sangat butuh tuntunan dalam hidupnya. Kamu harus lebih kuat dari adik-adikmu ya Ka. Kakak harus sayang sama Ibu dan Adik-adikmu ya”
Isak tangis ini tak tertahan saat Ibu memeluk kakakku. Dan menawarkan untuk melihat ayah, kemudian aku ikut melihatnya dengan kakaku. Kain kafan di buka, aku masih mencubit-cubit kulit ku. Apakah aku masih terhanyut dalam renungan itu? Sayang, tapi ini adalah nyata, sekarang di depan mataku adalah ayah yang setiap lubangnya sudah dimasukkan kapas. Semoga ayah tersenyum meliat kami, kecupan manis terakhir ini kami kecupkan untuk yang terakhir kalinya di jidatmu, selamat jalan ayah...

***

“Allah lebih menyukai muslim/muslimah yang kuat dari pada yang lemah” Ia selalu mengingatkan hal ini, dengan senyumnya yang penuh amanah.

“Kamu tahu saat motor hendak diparkirkan dan kita pemiliknya pergi bermain ke supermarket, minimarket, toko, swalayan atau yang lainnya? Dan tukang parkir yang menjaga motor kita. Nah, kita itu bagaikan tukang parkir yang sedang menjaga motor-motor milik orang lain dengan segenap tanggung jawab yang ada. Walau itu motor balap atau motor mahal sekalipun, tukang parkir harus tetap rela saat pemiliknya hendak kembali mengambil motor tersebut” Ucap ayahku dulu yang sering sekali menceritakan filosofi ini.

”Jadi semuanya itu punya Allah, semuanya itu milik Allah Nak. Saat diantara kita ada yang diambil duluan oleh Pemiliknya, maka kita harus ikhlas, harus tabah, harus kuat. Harus kuat ya? Kita hanya mendapat amanah untuk saling menjaga. Allah yang berhak lah yang memiliki kita” Pesan yang sering ayah sampaikan ini menjadi peredam air mata yang terus mengalir. Ah, tapi aku tak pernah memberikan sesuatu yang mengagumkan.

Ayah adalah orang paling semangat yang pernah aku kenal, meski sedang sakit ia selalu sempatkan untuk lakukan kewajibannya mengajar, dan selalu sempatkan pula mengajak anak-anaknya bermain sambil belajar. Selalu ada saja keinginan untuk bahagiakan anak-anaknya walau aku tahu ia sedang sakit.

Ah, aku tak pernah memberikan sesuatu yang mengagumkan. Hingga Saat ayah sakit dan menyuruhku untuk memijat tubuhnya, aku masih enggan memijatnya. Satu kalimat yang sangat aku sesali pada waktu itu adalah “nanti aja, Yah”. Padahal kapan lagi kalau berbakti kepada orang tua kalau bukan sekarang, berbakti dengan melakukan hal yang kecil atau mudah saja masih sulit, apalagi jika harus berbakti dengan hal yang besar. Padahal aku tahu ayah sudah jatuh sakit sejak 2002, tapi tetap saja masih enggan berbakti.  Ah, aku tak pernah mem berikan hal yang mengagumkan.

***

“Setelah itu aku seperti orang yang menyalahkan takdir, Ney. Tuhan mengambil orang yang sering jadi tokoh utama dalam ceritaku kepada teman-teman. Bahkan aku sempat menganggap Tuhan tidak adil. Astagfirullah... Mengapa teman-temanku berbahagia dengan keadaan keluarga yang lengkap. Sedangkan aku? Sejak saat itu aku tak lagi seperti dulu, orang yang mengawali cerita-ceritaku dengan teman-teman, sekarang aku hanya menjadi pendengar setia” Rasanya iri saat melihat temanku yang kembali ke pondok diantarkan oleh Ayahnya, kecupan manis yang hendak ayahnya berikan saat ia akan kembali mencari ilmu.

“Ah, kamu ini Day. Aku yakin, sikapmu saat ini tak seburuk yang kau ceritakan. Aku tahu kamu, kamu orang yang banyak mengerti segala hal, termasuk hal agama. Dan aku yakin kamu masih bisa bersyukur kan?”

Hmm.. Gak tahu Ney. Yang aku inget waktu itu adalah aku sering iri sama temen-temen” jawabku singkat dan Riney menjawab dengan senyum yang nampaknya punya arti.

“Liday, kamu tahu gak?...” ucapnya ringan kepadaku “kalau kamu merasakan penyesalan yang mendalam, justru aku tak pernah merasakan sedikit penyesalan pun, bukan karena aku selalu menuruti perintahnya, tapi aku tak pernah merasakan semua yang pernah kamu rasakan dulu, saat kamu sempat merasakan kenangan indah bersama ayahmu. Ayahku meninggal karena terkena serangan paru-paru sejak aku TK dulu. Ya, masa TK mungkin mengetahui pun masih sulit, apalagi untuk mengenalnya.”

Hancur hatiku saat mendengarnya. Tak tertahan air mata ini ingin menetes bersama bungkamnya mulut yang tak bisa lagi berkata-kata. Ah, aku benar-benar tak pernah memberikan sesuatu yang mengagumkan.
“Day, sebenarnya yang membuat hidup jadi lebih indah itu adalah saat kita selalu bersyukur dalam setiap keadaan yang diberikan oleh-Nya. Penyesalan bukan untuk disesali, tapi untuk kembali bangkit.”ucapnya bijak. “Tapi bangkit dari penyesalan itu tak harus bebas tanpa batas, semuanya punya batasan. Batas ambisi, batas semangat, batas kerja keras, dan lain-lain.  Jangan sampai jalan yang kemudian kamu ambil malah menambah penyesalanmu karena ulahmu sendiri. Allah pun gak suka sama segala sesuatu  yang berlebih-lebihan kan?”

Hari itu adalah hari yang sejuk di tengah sibuknya tugas kampus. Aku tengah menangis syahdu, kala di hadapanku ada sesosok sahabat hangat yang luar biasa. Membuat mengingatkanku untuk tidak berbuat kufur dan teruslah bersyukur. Di seberang sana, jauh di seberang sana, segenggam hati suci milik Ayah dan Ibu tengah tersenyum. Senyum keyakinan, bahwa anaknya disini akan belajar banyak dari kehidupan. Hari ini adalah hari penuh syahdu, Sang Penyesal yang tak punya akal akan sia-siakan semangat dan potensi yang ada hidup yang ada. Tapi Sang Penyesal yang punya akal akan menjadikannya tawakal dalam menghadapi semua jalan hidup ini.

5 komentar:

  1. bagus lagh menurutku,..

    Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang memiliki kepercayaan sepenuhnya bahwa setiap peristiwa yang terjadi merupakan Kehendak Allah, dan apa pun yang menimpa mereka juga atas Kehendak Allah. Hal ini menjelaskan betapa mereka memiliki kepercayaan penuh dan tidak berputus asa pada Tuhan serta melaksanakan ibadah untuk memperoleh ketenangan, pada waktu-waktu yang utama, baik ketika berada dalam masalah atau ketika mereka melakukan kesalahan. Ketika melakukan kesalahan, orang beriman segera bertobat dengan tulus dan berharap ampunan dari Allah. Oleh karena itu, ia tidak mengalami penderitaan batin yang amat sulit dan penyesalan hidup yang berkepanjangan. Penyesalan yang dirasakan oleh orang beriman mendesak mereka untuk bertobat, untuk menyucikan diri dan mencegah mereka untuk mengulangi kesalahan ini. Hal ini membantu mereka memperbaiki kesalahan mereka dan mencegah mereka terjun ke dalam suasana hati yang amat sulit dan pesimis. Selain itu, penyesalan ini tidak mengurangi antusiasme mereka, pengabdian, atau semangat keagamaan, dan juga tidak menyeret mereka pada sebuah lingkaran ketakutan dan depresi.

    BalasHapus
  2. T_T aku membacanya disaat yang tepat, thanks Hal buat 'pelajarannya' :')

    BalasHapus
  3. sama2 ti.. alhamdulillah kalo bermanfaat :-)
    eh minta no ti hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kok sepertinya lama gax update..
      visitback http://www.santri-indigo.com/

      Hapus