Beranda

Followers

Senin, 24 September 2018

Keyakinan : Buah dari Ikhtiar Panjang


"Memaknai keyakinan, bukan sekedar hadir atas buah pesimis seorang hamba yang sudah lumpuh dengan tugasnya yaitu ikhtiar, tapi keyakinan dibangun atas ikhtiar panjang, memperkaya pengetahuan, mengusahakan kebaikan-kebaikan, hingga keyakinan menjadi buah keputusan terbaik untuk mengambil langkah selanjutnya"

Sumber sumber : http://kevinspear.com/children-cartoons/faith

Rencananya mau mulai nulis tentang perjalanan hidup lagi setelah menemukan fase-fase kehidupan ‘baru’, tapi ada saja alasan, hingga baru kali ini ‘memaksakan’ untuk mulai nulis lagi, hehe. Anggap saja satu tahun yang lalu, Agustus 2017 kami memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang kehidupan berikutnya. Tepatnya di usia 23 tahun, muda atau tua? Relatif, tergantung siapa yang memandang, karena sejatinya setiap orang punya target waktu ‘kesiapan’ masing-masing. Yang jelas sebagai warga Indonesia, sudah melewati umur ideal batasan minimal KUA. Setelah mencapai umur tertentu, menikah bukan lagi tentang muda atau tua, tapi tentang kesiapan yang tertanam dalam diri, kesiapan lahir batin. Kesiapan tidak lahir dengan sendirinya, tapi atas ikhtiar dan doa yang tak henti dipanjatkan. Ikhtiar setiap manusia memiliki corak tersendiri, kesiapan adalah tentang keyakinan diri untuk melangkah, rasa yakin merupakan buah ikhtiar panjang dalam setiap diri. Ilmu/pengetahuan adalah modal besar untuk menanamkan kesiapan dalam diri, bukan hanya dalam melanjutkan jenjang pernikahan saja, tapi dalam setiap jenjang kehidupan di dunia ini. Tidak usah terlena dengan keadaan yang menggiring kita untuk memutuskan sesuatu karena sebatas dorongan perasaan sesaat saja, karena kehidupan bukan sekedar tentang senang dan tidak senang untuk sesaat juga, lebih dari itu, kebahagiaan disiapkan untuk hal yang kekal, ada yang perlu disiapkan untuk menjadi baik dalam setiap tangga kehidupan yang dilewati. Sejatinya, keunggulan manusia di dunia adalah ada pada setiap prosesnya, ikhtiar!

Jenjang pernikahan adalah sebuah tangga kehidupan yang dibangun atas visi misi dua insan dengan mengusahakan bekal pengetahuan, yang kemudian menjadi sebuah keyakinan, kekuatan bersama. Pengetahuan adalah tombak untuk membangun sebuah rumah tangga, dari rumah tangga, peradaban akan dibangun. Jika pengetahuan menjadi pondasi utama dalam membangun rumah tangga, maka belajar adalah ikhitiar tiada henti yang perlu dilakukan kedua manusia sebagai insan yang hidup di dunia. Sebagai seorang muslim, harus menyadari bahwa ayat quran yang turun pertama kali adalah tentang perintah membaca (belajar, memahami), bukan yang lainnya. Iqro (bacalah, telitilah, pelajarilah), bismirobbik (dengan nama Tuhanmu), perintah membaca juga untuk mengenal nama-nama Alloh, kemudian disandingkan dengan kalimat wa robbukal aqrom (Maha Pemurah, semulia-mulianya), artinya membaca itu manfaatnya ganda, jika terus membaca, mengulang-ngulang, maka Alloh akan memberi petunjuk pengetahuan. Tradisi keilmuan sangat dekat dengan keislaman, sejatinya semakin luas pengetahuan seseorang semakin mengenal Tuhannya, semakin dekat dengan Tuhannya, semakin tawadhu atas keimanannya. Maka keyakinan untuk melanjutkan jenjang kehidupan berikutnya adalah bagian dari keimanan yang dibangun atas ikhtiar memperkaya pengetahuan.  Iqro!

Keyakinan atas jalan yang diambil akan menghadirkan kebaikan-kebaikan selanjutnya. Tidak salah pepatah jawa mengatakan “sing penting yakin” (yang penting yakin), karena bagi kita sebagai seorang muslim, memaknai keyakinan, bukan sekedar hadir atas buah pesimis seorang hamba yang sudah lumpuh dengan tugasnya yaitu ikhtiar, tapi keyakinan dibangun atas ikhtiar panjang, memperkaya pengetahuan, mengusahakan kebaikan-kebaikan, hingga keyakinan menjadi buah keputusan terbaik untuk mengambil langkah selanjutnya. Kebaikan adalah prinsip yang dibangun sejak lahir hingga berakhir kehidupan. Bukan sekedar akan melewati jenjang kehidupan baru, hingga menikah menjadikan banyak beban untuk melakukan hal-hal (kebaikan) yang –mungkin- seharusnya sudah biasa dilakukan. Salah satu ketakutan banyak orang yang sering muncul untuk memutuskan keputusan besar menikah adalah karena setelah nikah harus ini dan itu, tidak boleh ini dan itu, yang sejatinya kebaikan-kebaikan itu sudah menjadi prinsip kehidupan sejak sebelum nikah. Padahal tugas manusia sejak diciptakan di bumi sampai berakhir kehidupan tetap dan tidak ada yang berubah, hanya perannya saja yang mengikuti fase kehidupan. Pada prinsipnya tugas manusia adalah menjadi khalifah fil ard  (memakmurkan bumi) dan beribadah kepada Alloh. Semua amalan yang dilakukan adalah dalam rangka untuk mencapai keduanya, termasuk amalan-amalan yang dilakukan setelah ataupun sebelum menikah, yakni mengusahakan kebaikan-kebaikan atas apa yang dilakukan. Maka, taqwa adalah milik semua orang, tidak ditentukan oleh ‘kasta’ keluarga sebagai suami, istri atau anak, hanya peran-peran kebaikannya saja yang dilakukan sesuai fitrahnya (sifat dasar). Keluarga yang dibangun atas ketaqwaan akan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirot), saling mendukung dalam kebaikan untuk apapun dalam rangka mencapai ketaqwaan. Mari menjadi baik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar