Beranda

Followers

Jumat, 23 November 2012

Saatnya Kenakan Hijab Beradab, Bukan Hijab Berazab


“Saatnya Kenakan Hijab Beradab, Bukan Hijab Berazab” Truly Moeslimah in Modern Era, Save Your Beauty With Hijab

Oleh : HALIDA RAHMI LUTHFIANTI (H1E12005)
Mahasiswa Fisika Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman

RINGKASAN

Memakai hijab sesuai syari’ah tidak menutup kita untuk berkreasi, untuk berkarya. Karena Islam pun mewajibkan kita untuk produktif, berkarya, dan tentunya memberikan manfaat bagi orang lain umumnya dan khususnya bagi diri kita sendiri. Orang lakukan syari’ah hendaknya orang yang sepantasnya berkarya, karena semua ajaran Islam mengajarkan kita kepada sesuatu yang pasti ada manfaatnya. Orang lakukan syari’ah bukan orang yang hanya melakukan ibadahnya kepada Allah, tapi ia mampu melakukan hubungan ibadahnya dengan orang sekitar (hablumminannas), ia tak tutupi lingkup gaulnya, ia pun tak tutupi ilmunya, dalam arti selalu berbagi ilmu dengan orang lain. “Hijab sesuai syari’ah bukan memasung kebebasan Muslimah, namun batasi nakalnya lelaki berimajinasi”[1]. Memakai hijab menunggu siap, lantas mengapa tak kenakan hijab lalu siap? Padahal siap itu setelah kenakan hijab. Hijab beradab justru halangi dari amal buruk berdosa, setidaknya hindarkan dosa saat aurat dibuka. Berlian berharga karena sedikit jumlahnya, maka Muslimah dengan hijab dihargai surga karena sedikit jumlahnya.



“Saatnya Kenakan Hijab Beradab, Bukan Hijab Berazab” Truly Moeslimah in Modern Era, Save Your Beauty With Hijab

Oleh : HALIDA RAHMI LUTHFIANTI (H1E12005)
Mahasiswa Fisika Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman

Berawal dari satu pengalaman satu realita, dan menghasilkan sebuah fakta. Kata hijab, jilbab, khimar yang sudah tak asing lagi didengar di telinga kita. Dari berbagai pengertian yang ada, muncul satu pengertian yang penulis dapatkan, hijab berasal dari kata bahasa arab, yakni hijabun, yang artinya penghalang. Maksud penghalang disini adalah penghalang aurat atau penutup aurat. Adapun hijab yang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah jilbab dan kerudung. Banyak orang yang menyamakan antara jilbab dengan kerudung, padahal dua hal mempunyai makna yang berbeda.

Jilbab adalah pakaian menutup tubuh wanita, yang terulur, tidak berpotongan, tidak tembus pandang, dan tidak menampakkan lekuk tubuh[2] ­­. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi masih mencetak tubuh atau menggunakan bahan tekstil yang transparan, maka tetap belum dianggap muslimah sempurna. Karena muslimah sempurna salah satunya adalah memakai jilbab yang sesuai syari’ah. Kembali ditegaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya “ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat..>> kedua, para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlengak lengok, kepala mereka seperti punuk unta..>> wanita seperti ini takkan masuk surga dan takkan mencium baunya, walau baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”[3] Hadits ini merupakan satu peringatan yang wajib kita camkan saat mulai banyak orang yang tidak mengenakan jilbabnya sesuai syar’i. Baunya surga pun tak akan ia cium saat kita tak kenakan hijab beradab (sesuai syar’i). Bukan ketinggalan zaman ataupun tidak kenal modis, tapi syar’i harus kita utamakan. Karena dunia bukanlah kehidupan yang kekal, dunia hanyalah jalan atau proses menuju kekekalan. Maka dari itu saatnya kita berproses untuk menuju sesuatu yang kekal, meski terkadang proses ini membuat kita hampir menyerah karena dihadapkan dengan berbagai tantangan. Tapi tantangan itulah yang membuat kita tetap hidup sampai saat ini.

Kerudung dalam sebutan Al Qur’an adalah khimar. Khimar adalah kerudung, kain penutup aurat wanita hingga batas dada. Allah berfirman dalam QS annur : 31, bahwa diwajibkan atas muslimah untuk memakai kerudung hingga menutup dadanya. Bukan hanya mengikuti modis, kemudian lupakan syar’i. Akan tetapi syar’i yang harus kita utamakan dan tak lupakan modis. Rasa sedih muncul saat muslimah yang tak lupakan syar’i menjadi terasingkan atau menjadi satu hal yang aneh di mata orang sekitar. Tapi kesedihan ini dapat terjawab saat membaca Hadits yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, Rasulullah bersabda “Islam bermula dari keterasingan. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu”[4] Dengan demikian, tak usah khawatir, tak usah resah, karena kelak akan menjadi orang-orang beruntung. Dan berlian pun berharga karena sedikit jumlah, maka jangan takut jika kita menjadi orang yang ‘sedikit’ atau minoritas, karena surga hargai orang-orang yang berhijab karena ia berharga dan sedikit jumlahnya.

Dewasa kini sudah tak asing lagi melihat orang yang mengenakan penutup rambut atau ‘mereka’ katakan kerudung, bahkan orang non islam sekali pun ikut mengenakannya, ya mereka berdalil karena keindahannya, seni. Rasa bahagia muncul saat satu kelas pada tataran Universitas Negeri tak ada yang tidak mengenakan kerudungnya, tapi entah rasa bahagia muncul hanya untuk sesaat saja, saat orang tak sadarkan kebahagiaan tersebut. Sejenak kita tengok kepada ajaran yang sudah sedemikian sempurnya, hingga syari’ahnya pun telah mendesign sedemikian indah untuk kemaslahatan atau manfaat bagi umatnya, yakni ajaran Agama Islam. Dunia boleh berkata iya, dunia boleh berkata keren, dunia boleh berkata beken, dunia boleh berkata modern. Tapi norma syari’ah memang norma yang tak dapat ditimbas dengan kemodernan saat ini. Modernisasi atau globalisasi saat ini memang banyak sekali menjadikan perubahan dalam segala aspek, baik itu menjadi satu hal yang mengantarkan ke arah positif ataupun ke arah negatif. Hingga cara berpikir orang pun hendak sangat berubah.

Sedih rasanya saat islam di Indonesia sudah besar tapi ia tak ambil jalan yang benar sesuai apa yang telah di syari’atkan, padahal syari’ah islam sudah sedemikian ‘sempurnanya’. Dapat kita ibaratkan dengan dua macam air pada dua gelas yang ada di hadapan kita, yakni air putih dan air selokan. Air putih diibaratkan sebagai aturan syari’ah islam, air selokan adalah modernisasi yang sudah tercampur berbagai macam kebathialan, hingga lupakan syari’ah. Mengapa mayoritas orang zaman sekarang ini mereka mengambil air selokan, padahal sudah jelas dan tahu bahwa jika kita tinjau dari segala sisi termasuk manfaat khususnya, air putih yakni lebih sehat, lebih enak, lebih bermanfaat dibandingkan air selokan. Begitu halnya saat orang islam tak mengambil aturan syari’ahnya yang lebih banyak manfaatnya seperti air putih tadi, maka ia telah abaikan enaknya, sehatnya, manfaatnya aturan syari’ah islam.

Syari’ah islam dibuat bukan tanpa pemikiran, bukan pula tanpa manfaat. Tapi semua yang diajarkan oleh islam itu adalah berbuah manfaat. Salah satunya adalah saat kita kenakan hijab tapi tak sesuai syari’ah. Suatu penelitian ilmiah kontemporer telah menemukan bahwasannya orang yang berpakaian ketat akan mengakibatkan berbagai penyakit kanker ganas di sekujur tubuhnya yang terbuka, apalagi gadis atau putri-putri yang mengenakan pakaian ketat-ketat. Hasil penelitian ilmiah ini dengan mengutip berbagai fakta, diantaranya bahwa akibatnya akan mengalami kanker ganas milanoma pada usia dini. Hal ini disebabkan karena pakaian ketat yang digunakan oleh putri-putri di terik matahari dalam waktu yang panjang setelah bertahun-tahun, sehingga adanya sengatan matahari yang mengandung ultraviolet dalam waktu yang panjang di sekujur tubuh yang ketat. Kanker ganas milanoma adalah seganas-ganasnya kanker, yang di tandai bulatan bulatan kecil, kanker ini akan menyerang pada darah, menetap di hati serta merusaknya, menyerang janin dalam rahim ibu yang sedang mengandung, dan menetap di sekujur tubuh serta merusaknya.[5] Maka dari itu sudah sepantasnya Muslimah kenakan hijab yang beradab, bukan hijab yang berazab.

Ada satu kisah cerita tentang seorang yang mengalami ‘kecelakaan’ dari Pondok Pesantrenya. Dia adalah seorang anak yang berasal dari suatu desa kecil di Kota Santri sana. Ya, sebut saja dia adalah Si Fulan. Sejak lulus SD ia dimasukkan ke Pondok Pesantren karena keinginan orang tuanya. Keterpaksaan kedua orang tua yang akhirnya membuat ia tidak nyaman berada di Pondok Pesantren. Akhirnya ia bagaikan bayi prematur yang keluar tidak sempurna seperti bayi normal lainnya, begitu pun Si Fulan ini, ia hanya menjadi santri prematur yang gugur saat tiga tahun pertama. Kemudian ia melanjutkan studinya di SMA Negeri yang ada di Kota Santri sana. Suatu hari teman sejak di Pondoknya dulu bertemu dengan Si Fulan tadi. Ia tak kenakan khimarnya, kekecewaan hendak sangat dirasakan oleh temannya Si Fulan yang ia masih melaksanakan studinya di Pondok. Kemudian saat itu temannya bertanya kepada Si Fulan bahwa mengapa ia tak kenakan khimarnya. Si Fulan menjawabnya bahwa untuk apa kenakan khimar saat akhlak tak mencerminkan orang berkhimar. Bukan tanpa sebab ia berkata demikian, akan tetapi karena perkataan teman-temannya yang hendak memukul saat ia kenakan hijab di SMAnya. Ia merasa terpukul atas perkataan teman-temannya dan kemudian memutuskan untuk tak kenakan khimar.

Dari kisah diatas kita dapat melihat realita yang ada bahwa dalil orang-orang tak pandai syari’ah mereka sering beralasan bahwa untuk apa kita berhijab saat akhlak tak mencerminkan atas hijabnya. Padahal saat itu mereka lakukan dua maksiat, membuka aurat dan menggunjing saudaranya. Aurat adalah satu hal yang lebih urgent sebelum benahi akhlak. Karena kenakan hijab dapat memulai untuk memperbaiki akhlak kita. Bukan menunggu akhlaknya baik baru kenakan hijab. Bukan pula kita berhijab karena sikap kita telah sempurna, tapi dengan berhijab kita akan menuju kesempurnaan atas amalan yang kita lakukan. Kita akan selalu bercermin saat kenakan hijab, bercermin saat akhlak mulai tak pantas, bercermin saat Dhuha tak lakukan shalat, bercermin saat tahajud tetap berada di atas kasur, bercermin saat uang bulanan tak sisakan untuk anak yatim yang berhak ataupun kotak amal di mesjid sana. Maka sudah sepantasnya muslimah kenakan hijab yang beradab, bukan hijab yang berazab.




Biodata Penulis

Judul Naskah    : “Saatnya Kenakan Hijab Beradab, Bukan Hijab Berazab” Truly Moeslimah in Modern Era, Save Your Beauty With Hijab
Nama Penulis    : Halida Rahmi Luthfianti
Fakultas            : Sains dan Teknik
Prodi                 : Fisika
E-mail               : halidarahmi@gmail.com
No. Hp              : 085659277637
Scan KTM        :


[1] Ustadz Felix Siauw
[2] Tafsir Ibnu Khaldun, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Hazm

[3] Hadits Riwayat Muslim
[4] Hadits Riwayat Muslim
[5] Ustd. Wahyu Jaelani (Guru penulis, saat dulu menjadi santri)

Saat Mimpi Lupa 'Bermimpi'

Di tengah sibuknya perkuliahan, ku sempatkan ucapkan kata pada untaian kalimat yang ku tarik pada satu pengalaman sebelum tepat aku berada di tempat ini.

"Gantungkan mimpi setinggi langit!" Soekarno
"Bermimpilah! Karna Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi mu" Andrea Hirata

Bukan kata yang asing lagi terdengar di telinga kita, bukan pula kata yang tak ada fakta .
Ya mimpi memang harus kita targetkan, bahkan menjadi satu hal yang wajib bagi semua orang untuk mempunyai mimpi. Sangat bayak hal positif yang dapat kita ambil ketika kita sudah metargetkan sebuah mimpi. Hingga kita dapat melakukan segala hal dengan sungguh-sungguh.

Tapi saat sejenak berpikir, semua hal memang mempunyai plus minusnya, seperti layaknya unsur-unsur yang saling berikatan, saling mentrasfer bahkan memakai secara bersama. Ya semuanya saling menguntungkan, apapun positif dan negatifnya hanya untuk menggapai satu tujuan yakni menuju kestabilan.

Terkadang sebagian orang menjadikan mimpi sebagai Tuhan (sesuatu yang diagungkan, dibesarkan), apapun alasannya, ia tak peduli keadaan sekitar seperti apa, "pokonya mimpi adalah apa yang harus dicapai!!". Usaha maksimal positifnya yang akan ia lakukan, tapi egoisme dan sikap menuhankan inilah yang seharusnya dihilangkan pada jiwa Sang Pemimpi, Sang Pemimpi mampu faham dengan keadaan sekitar, mampu menyesuaikan dengan keadaan sekitar.
 

Mutiara di Balik Keruhnya air

Saling bertegur sapa, begitu pula saling menguatkan keegoannya, kebingunganku hendak seperti air yang sedang mengalami penguapan, ya berasap, menggupyak dan panas rasanya. Rasa keingintahuanku semakin menguat, berbagai pertanyaan aku lontarkan pada diriku sendiri, bukan pada orang lain yang bisa menjawab pertanyaanku. Aku takut, takut bukan kalian yang aku maksud untuk menjadi solusi ku ini, malah mereka yang menjadi problem ini tambah klasik. ketakutan hendak menghantui hari-hari ku.

Aku tak mengerti apa yang mereka cari. sejenak aku lupakan, meski hati tetap bertanya. hari demi hari aku lalui, dan tepat hari itu adalah hari dimana aku menjadi spesies baru pada habitat baruku, aku seperti individu yang menemukan keluarga baru nya. Nyaman rasanya berada di tempat ini, bukan mereka yang beradu kata bukan pula mereka yang beradu tahta. Aku percayakan mereka yang dapat memberi solusi bagi kebingunganku. Hingga akhirnya aku menemukan mutiara di balik keruhnya air. Semoga tetap berharga walau dalam kondisi sekitar keruh :-)

Kamis, 08 November 2012

Takut (pun) Positif

Ditengah matematika dengan quisnya dan jawaban yang mesti rapi, tidak boleh memakai pensil, hingga kita seperti anak TK yang sedang belajar melukis garis pada lembaran kertas. Begitupun fisika dengan kuis dan praktikumnya yang hanya diberi waktu 3 hari untuk menyelesaikan laporan praktikumnya. Dan tak lupa kimia yang tak mau kalah dengan segudang tugasnya. Fokus yang sejenak mengarah kepada tugas-tugas kampus yang luar biasa ramainya. Ketakutan khusus ketika tugas melampaui batas waktu yang telah ditentukan, apalagi hingga tugas yang selama ini kita perjuangkan tidak tepat terhadap sasaran yang kita fokuskan. Pengaruh besar terhadap hasil akhir yang menjadi kejaran banyak orang. Hasil atau buah manis yang kita tunggu setelah kita bejuang, bersusah payah mengorbankan segala pikiran dan tenaga adalah hal yang paling indah dan dinanti.

Cukup tercengang ketika mushola tak seramai tugas yang didapat akhir-akhir ini. Atau jangan-jangan malah mengutamakan hal yang sifatnya tidak kekal atau duniawi, mushola ramai saat setengah tiga menuju adzan ashar, begitupun pukul 17.00 yang hari sudah senja menuju terbenamnya matahari. Padahal tugas dari Sang Maha Kuasa pun tidak lebih sulit dari pada tugasnya Pak dosen dan asisten. Tapi mengapa hal yang mendasar ini seakan hampir atau malah dilupakan? Masa iya rasa takutnya udah ganti sama yang ngasih tugas di kampus?

Pikiran sempat terlintas saat ramainya tugas ini, mengapa terkadang ketakutan terhadap orang malah lebih mendominasi dibanding kepada Dia yang menciptakan orang yang ditakuti. Dan pikiranku kembali berandai-andai, andai saja ketakutan menghadapi tugas atau kewajiban yang diberikan Allah seserius dan setakut ketika mengerjakan tugas yang diberikan oleh pak dosen, rasanya semua akan tepat pada sasaran dan hasilnya pun akan berbuah manis, itulah hal yang dinanti. Manusia bukan lagi mereka yang inginnya memakan hak milik orang lain, manusia bukan lagi mereka yang menzalimi sesama umatnya, manusia bukan lagi meereka yang terdiam ketika melihat saudaranya membutuhkan. Ketika kefokusan dan keseriusan sudah menjadi habits bagi kita, maka manusia tak lagi memikirkan hal yang tidak bermanfaat, meninggalkan madhorot, ia fokus terhadap apa yang diperintahkan-Nya, ya tentunya menjadi suatu nilai ibadah.

Selamat menikmati tugas dengan segala bumbu raciknya , kawan :)